TELAH DIBUKA UJIAN KEJAR PAKET A, B DAN C SELURUH INDONESIA, RESMI. INFORMASINYA DI SINI
Diberdayakan oleh Blogger.

Kumpulan Video Pembelajaran

The Importance of Fine Arts in the Classroom

The Importance of Fine Arts in the Classroom


Executive Summary about education for kids by Debbie Cluff
Teachers “have very little understanding of the arts as disciplines of study. Fine arts expand the boundaries of learning for the students and encourage creative thinking and a deeper understanding of the core subjects, which are language arts, math, science, and social studies. Teachers need to incorporate all genres of fine arts, which include, theater, visual art, dance, and music, into their lesson plans because the arts gives the students motivational tools to unlock a deeper understanding of their education. Teaching the arts is the most powerful tool that teachers can present in their classrooms because this enables the students to achieve their highest level of learning.
It was then compared to those students who received computer training which involved no fine art components. This study shows how one little change in the way students are taught through the arts can have a powerful impact on their learning achievements and understandings. Teaching the arts needs to be incorporated in every teachers daily lesson plans because, based on these studies, students who are taught through the arts raise their test and learning levels.
Jacobs explains,
Teaching though the arts requires students to engage in the act of creative art. Teaching through the arts helps students experience concepts rather than simply discussing or reading them. (Jacobs, 1999, p. 2)

Three, veteran teachers at a public elementary school did a case study which involved teaching through the arts. They believed “our students had to experience cycles of inquiry wherein they learned about the arts and through the arts, and that they needed to see teachers of different disciplines collaborate” (Berghoff, 2003, p. 2).
The study was based on teaching a history lesson unit on Freedom and Slavery through the arts. (Berghoff, 2003). The students had learned more from this lesson because they were able to use all styles of learning and were taught from an angle which is rarely used, through the arts. “Studies indicate that a successful arts integrated program will use these components to guide student learning and assess growth and development (Swan-Hudkins, 2003). Teaching through the arts are the key elements of learning and the traits teachers strive to establish and reinforce in their students. By working through the arts, instead of about the arts, the students’ educational experience will be achieved in a different way than just teaching the standard style of learning. Recent Reports from the National Art Education Association (NAEA) confirmed with Governor Davis when they reported “Students in art study score higher on both their Verbal and Math SAT tests than those who are not enrolled in arts courses (California Art Study, 2003, p. 5). Attached is a copy of the test scores of students in the arts and students with no arts coursework.
This company understands the importance of incorporating arts into the classroom. Teachers need to gain a better education of teaching their students through the arts. Teaching through the arts is the most powerful tool that teachers can give in their classrooms because it enables the students to achieve their highest level of learning.
With the lack of attention art is getting outside of the classroom, teachers cannot afford not to incorporate dance, theater, visual arts, or music in their lesson plans. Fine arts is the core curriculums constant and most important companion. Cycles of Inquiry with the Arts. Connecting Arts Education Policy and Research to Classroom Teaching. Teaching Core Curriculum Content through the Arts. The Effect of an Elementary Fine Arts Program on Students’.

Internet dan Pendidikan

Internet dan Pendidikan

Saat ini kita berada pada zaman dimana kita harus bergerak secepat kilat jika kita ingin terus berada pada arus zaman. Segala sesuatunya berubah setiap kali matahari terbit dan tenggelam. Hari esok datang dengan berjuta perkembangan dan hal-hal baru. Begitu halnya teknologi. Teknologi diadaptasikan pada segala aspek kehidupan, membuat hidup jadi lebih mudah dan menarik. Teknologi pun sedemikian rupa diaplikasikan untuk dunia pendidikan. Bagi yang berpendapat bahwa pendidikan online akan berkembang dikemudian hari, mungkin Anda telah ketinggalan kereta, pendidikan online, telah berkembang sedemikian rupa disaat sekarang ini.

Pendidikan Online, Disaat Sekarang dan Disaat Mendatang

Belakangan, banyak sekolah, universitas dan institusi pendidikan lainnya yang menawarkan pendidikan jarak jauh via internet. Bahkan, beberapa dari mereka hanya menawarkan pendidikan online, dan menjadi institusi virtual. Kitapun sekarang bisa menemukan dengan mudah berbagai situs pendukung pendidikan online. Ada yang menawarkan meeting place, video conference, bahkan sebuah kelas virtual, lengkap dengan video dan audio. Contohnya WiZiQ, dimana siapapun bisa mengajar dan belajar apapun, hanya dengan sign up, atur jadwal sesi, pilih sesi yang kita inginkan, dan gunakan kelas virtualnya. Jadi jelas, pendidikan online bukan merupakan masa depan lagi, tapi merupakan masa kini.

Kenapa Kelas Virtual Online?

Integrasi pendidikan online memberikan manfaat lebih dibanding kelas tradisional. Melalui kelas virtual, kita tetap bisa berhubungan langsung dengan pengajar, berdiskusi, memberikan komentar, penjelasan atau semua jenis aktivitas lainnya yang biasa dilakukan di kelas biasa. Namun, keunggulannya, semua hal ini sekarang bisa dilakukan kapanpun dari manapun di seluruh dunia, hanya dengan koneksi internet. Waktu pun tidak jadi masalah lagi, seseorang bisa mengambil sebuah kelas online dengan mencocokkan jadwalnya sendiri, sesuai dengan waktu luangnya, karena kelas virtual selalu disitu, aktif 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Anda bisa mengikuti kelas tentang bisnis ekonomi dimalam hari sebelum Anda tidur, atau belajar bahasa Inggris di hari minggu pagi. Inilah kelebihan lain kelas virtual dibanding kelas biasa.

Teknologi Untuk Pendidikan Virtual

Pada dasarnya, mudah untuk dimengerti kenapa belajar online lebih nyaman dan telah menjadi pilihan. Sebelumnya, kita harus berangkat ke kampus atau sekolah, membuat catatan dan kemudian belajar lagi dirumah. Selanjutnya berkembang, kita belajar dengan powerpoint presentation, penggunaan komputer lebih lanjut, dan pemanfaatan internet untuk sumber informasi. Idealnya, kenapa tidak menggabungkan kedua hal ini agar semua bisa lebih mudah? Inilah yang ditawarkan oleh pendidikan virtual, dan hal ini juga yang menjadi alasan kenapa belajar online menjadi populer belakangan ini.

Teknologi pun terus maju pesat. Setiap saat selalu berevolusi dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan lebih bagi para pengguna pendidikan online. Sebagai contoh, sekarang seorang murid bisa merekam perkuliahan online-nya untuk diakses dikemudian hari, powerpoint presentation bisa diubah ke podcasts dan di transfer ke iPod, dan kemudahan kemudahan lainnya.

Pendidikan di Dunia Cyber Solusi Beberapa Masalah

Dunia pendidikan online telah membuat proses belajar menjadi proses yang lebih menarik, kaya akan peluang, keleluasaan dan kenyamanan. Biayapun bukan menjadi masalah lagi dengan begitu banyaknya platform, organisasi dan individual yang peduli akan hal ini dengan memeberikan tool dan layanan gratis. Biaya perjalanan pun bukan merupakan sebuah isu lagi, karena yang dibutuhkan hanyalah computer dengan koneksi internet.

Bisnis eLearning ditahun 2010

Sekarang, mari kita lihat hal ini dari segi bisnis. Disadur dari sebuah artikel di thejournal.com, San Jose, peneliti pasar di Global Industry Analysts, sebuah organisasi yang berbasis di California, AS, menyebutkan bahwa rancangan pasar global eLearning akan bernilai $ 52.6 miliar pada tahun 2010. Serta dalam eLearning: A Global Strategic Business Report, sebuah laporan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut, ditahun 2007 saja, industry pendidikan online di AS sudah bernilai $ 17.5 juta. Dalam laporan itu juga diperkirakan bahwa pengguna eLearning di Asia diharapkan akan mencapai pertumbuhan tahunan dari 25 persen menjadi 30 persen ditahun 2010, dan ditargetkan seluruh dunia akan mencapai antara 15 persen dan 30 persen. Dilihat dari laporan ini, sudah dapat diperkirakan bagaimana berkembangnya nanti pendidikan online di dunia dalam beberapa tahun mendatang ini.

Antara Pelajar dan Pengajar

Namun, terlepas dari semua peluang dan perkembangan ini, semua akan berbalik lagi pada masyarakatnya. Dibutuhkan keinginan dan ketertarikan pelajar untuk mulai memanfaatkan teknologi untuk belajar online, dan kemampuan para pengajar untuk beradapatasi dengan perkembangan teknologi, sehingganya pendidikan online akan terus berkembang dan menjadi lebih baik.

Dimana Posisi Indonesia?

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi, perkembangan internet di Indonesia sudah cukup menggembirakan. Jika kita bandingkan pengguna internet di tahun 2000 dengan tahun 2008, sudah sangat jauh berbeda. Hal ini semestinya bisa menjadi peluang untuk lebih mempopulerkan pendidikan online. Mari kita ambil perbandingan dengan negara lain, India. Belakangan India telah menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di Asia. Kemajuan dibidang teknologi sangatlah pesat di negara ini, begitupun dengan perkembangan pendidikan online-nya. Mari kita ambil contoh lagi dengan WiZiQ, salah satu platform penyedia kelas virtual gratis. India adalah pengguna WiZiQ terbanyak di dunia, diikuti oleh AS. Indonesia? Berada pada angka 27 (dari google analytics, per 21 November 2008). Ini baru dilihat dari satu penyedia kelas online. Namun, diikuti dengan kemauan dan kepedulian semua pihak, angka ini tentunya akan bisa manjadi lebih baik, dan pendidikan online di Indonesia akan menjadi lebih popular dan terus berkembang.



Di tulis oleh Regan Guru Alfajri Alwis ( ALUMNUS Universitas Andalas, Padang )



TUJUAN DASAR PENDIDIKAN

Buat Apa Sekolah?
Suatu Pertanyakan yang terkadang lupa kita tanyakan kepada Siswa?

Seorang ibu berkata pada anaknya" nak kalau sudah besar kamu harus jadi pegawai negeri sipil (PNS) biar hidupmu tidak susah, jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan sayur kepasar, biar bapak dan ibu saja yang bodoh dan susah cari uang liat tetangga kita itu sekolahannya tinggi coba lihat hidupnya enak kamu harus mencontoh dia" . Sementara dilain pihak seorang ibu berkata " buat apa sekolah tinggi-tinggi ? dokter sudah ada, menteri sudah ada, guru banyak, presiden sudah ada, mendingan uang sekolahmu dibelikan sapi biar beranak-pinak lebih jelas hasilnya dari pada harus dibayarkan untuk sekolah, coba lihat si lukman itu sekolah jauh-jauh tapi setelah selesai nganggur dan akhirnya sekarang jadi sopir anggutan.." !

Sadar atau tidak, ditingkatan masyarakat opini yang terbangun mengenai dunia pendidikan (sekolah) seperti yang diilustrasikan diatas. Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status social yang tinggi dimasyarakat indikasinya adalah apakah seseorang itu bekerja dengan berpenampilan elegan (berdasi, pake sepatu mengkilap, dan membawa tas kantor) atau tidak, dan apakah seseorang tersebut bisa kaya dengan pekerjaannya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang pendidikan (SLTA, D1, D2, D3, S1, S2, dan S3) lulus dan setelah itu menganggur maka dia telah gagal bersekolah. Hal semacam inilah yang sering ditemui di masyarakat kita.

Mencermati hal diatas, apakah memang praktek-praktek pendidikan yang selama ini dijalani ada kesalahan proses?, mengapa dunia pendidikan belum bisa memberikan pengaruh pencerahan ditingkatan masyarakat, lantas apa yang selama ini dilakukannya oleh dunia pendidikan kita? kalaupun yang diopinikan masyarakat itu adalah kesalahan berpikir, mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tidak lebih baik dari negara lainnya, bukankah setiap hari upaya perbaikan pendidikan terus dilakukan mulai dari seminar sampai dengan pembuatan undang-undang system pendidikan nasional? Atau inilah yang dimaksud oleh Ivan Ilich bahwa "SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah."


Jelasnya pendidikan (sekolah) bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan manusia-manusia penghuni pabrik, berpenampilan elegan apalagi hanya sebatas regenerasi pegawai negeri sipil (PNS), tapi lebih dari itu adalah pendidikan merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia. Tentunya proses tersebut bukan hal yang sederhana butuh komitmen yang kuat dari setiap komponen pendidikan khusunya pemerintah bagaimana memposisikan pendidikan sebagai inventasi jangka panjang dengan produk manusia-manusia masa depan yang hadal, kritis dan bertanggung jawab. Kalau dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia kedepan adalah manusia yang kapitalistik, coba perhatikan menjelang masa-masa penerimaan siswa/mahasiswa tahun ajaran baru dipinggir jalan sering kita temukan mulai dari spanduk, baliho, liflet, brosur, pamlet dan stiker yang bertuliskan slogan yang kapitalistik seperti " lulus dijamin langsung kerja, kalau tidak uang kembali 100%, adapula yang bertuliskan "sekolah hanya untuk bekerja, disini tempatnya" apalagi banyaknya sekolah-sekolah yang bergaya industri semakin memperparah citra dunia pendidikan yang cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada pemenuhan kualitas pelayanan akademik yang diberikan. Akhirnya terlihat dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.

Jadi, tidak mengherankan kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia pendidikan (sekolah) sampai hari ini seperti layaknya sebagai institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS) indikasi dari pandangangan tersebut bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) seolah-olah status/gelar akademik yang mereka capai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk kerja-kerja kantoran (PNS) hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah sebab kesalahan motiv sekolah sebagai akibat dari prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas "Gengsi gede-gedean"

Beberapa hal diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengupulkan orang lantas diceramahi setelah itu pulang kerumah mengerjakan tugas besoknya kesekolah lagi sampai kelulusan dicapainya (sekolah berbasis jalan tol), kalau aktivitas sekolah hanya monoton semacam ini maka pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan tetapi kalau proses yang dijalankannya tidak seperti sekolah jalan tol maka pilihan untuk beinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan menyekolahkan anak-anak kita merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius khusunya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran kritis sehingga melalui kekuatan kesadaran kritis bisa menganalisis, mengaitkan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran, dan lainnya merupakan persoalan system bukan karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya menjadi muatan penting untuk diinternalisasikan disetiap diri siswa.

Selain itu, mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa sekolah itu tidak sekedar tahapan untuk bekerja kantoran menjadi salah satu agenda dunia pendidikan yang harus segera dilakukan sehingga masyarakatpun bisa memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan. Agenda semacam ini akan bisa dijalankan secara baik kalau masing-masing insitusi pendidikan bertindak secara fair bagaimana proses penerimaan siswa baru tidak lagi memakai slogan yang menyesatkan. Mempertahankan sekolah yang kapitalistik sama saja menggerogoti minat dan motivasi masyarakat untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.


Kata Kunci/ keyword Terkait dengan artikel ini : pendidikan, pendidikan nasional, makalah pendidikan, pendidikan agama, menteri pendidikan, menteri pendidikan nasional, pendidikan usia dini, pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, pendidikan di indonesia, departemen pendidikan, manajemen pendidikan, pendidikan teknologi, teknologi pendidikan, masalah pendidikan, pidato tentang pendidikan, tingkat pendidikan, pendidikan lingkungan hidup, evaluasi pendidikan, pendidikan pancasila, pentingnya pendidikan, pendidikan nasional indonesia, menteri pendidikan 2010, website pendidikan, pendidikan ppt, departemen pendidikan nasional, komunikasi pendidikan, standar nasional pendidikan, standar pendidikan nasional, pendidikan seks, logo pendidikan, pendidikan internet, kata kata pendidikan, teknologi dan pendidikan, uu pendidikan, inovasi pendidikan, pendidikan luar sekolah, pendidikan menurut islam, kementerian pendidikan nasional, journal pendidikan, aliran pendidikan, pendidikan tik, pendidikan dan kebudayaan, undang-undang pendidikan, pendidikan hukum, dinas pendidikan nasional, internet dalam pendidikan, internet untuk pendidikan, pendidikan jepang, pembiayaan pendidikan, artikel pendidikan indonesia, pendidikan kimia, lembaga pendidikan islam, perkembangan pendidikan indonesia, kementrian pendidikan, info pendidikan, blog pendidikan, uu pendidikan nasional, tujuan pendidikan jasmani, dasar-dasar pendidikan, pendidikan dan pembangunan, pendidikan pesantren, www.pendidikan, manajemen pendidikan islam, reformasi pendidikan, pendidikan diindonesia, hadits tentang pendidikan, komputer dalam pendidikan, menteri pendidikan indonesia, mentri pendidikan, depdiknas.go.id, macam-macam pendidikan, dasar pendidikan nasional, pendidikan sebagai sistem, kementrian pendidikan nasional, penilaian dalam pendidikan, pendidikan kewirausahaan, nilai-nilai pendidikan, aliran-aliran pendidikan, biaya pendidikan itb, faktor-faktor pendidikan, uud pendidikan, pendidikan tradisional, pendidikan sebagai ilmu, nama menteri pendidikan, pendidikan masa kini, jenis-jenis pendidikan, departemen pendidikan indonesia, tokoh-tokoh pendidikan, artikel pendidikan jasmani, pemerataan pendidikan, pendidikan.com, unsur-unsur pendidikan, artikel pendidikan nasional, prinsip-prinsip pendidikan, prinsip pendidikan islam, contoh pantun pendidikan, teori-teori pendidikan, multimedia dalam pendidikan, artikel dunia pendidikan, lambang departemen pendidikan.

NILAI PENDIDIKAN KITA DI MASA DEPAN

Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan

Pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri . Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam duni pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat dijalankan di dunia ketiga adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang menganggap bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan .

Mengapa Paulo Freire
Paulo Freire dilahirkan 1921 di Recife, salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di timur laut Brazil lewat karya pendidikannya dapat kita sebut sebagai bahwa pikirannya mewakili jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya . Kondisi ketertindasannya di Recife tersebut cukup menggambarkan pola keumuman praktek pendidikan di dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Disanalah tumbuhnya kebudayaan bisu dikalangan orang-orang yang tertindas. Lebih jauh Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung". Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan "gaya bank" tersebut.

1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka. Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan yang ekslusif.

Pendidikan Kita Anti Realitas
Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya.

Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.

Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan". Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.

Metode Dialog : Hadap Masalah
Karena penyebab tidak berhasilnya pendidikan kita sebagai akibat dari penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidak berumber pada satu realitas masyarakat, maka kini tiba saatnya kita untuk merefleksikannya. Mau tidak mau, pendidikan kini harus berangkat dari proses dialogis antar sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah dari pemikiran kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang menuntut pemikiran kritis dan melahirkan komunikasi. Tanpa komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek pendidikan anti realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada proses hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik harus beranjak dari kekinian, eksistensial, dan konkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri.

Secara umum praktek pendidikan sebagai mana yang lazim disebut sebagai metode-nilai pedagogis dapat kita rangkum dalam dua kata tadi, dialog dan hadap masalah. Entahpun pengembangan lainnya tentu saja dapat kita lakukan seiring kondisi yang bersangkutan.

Pendidikan Indonesia Masa Depan
Ketika memimpikan tentang pendidikan masa depan kita tidak dapat melepaskan sejarah masa lalu dan realitas yang melingkupi sekarang. Sejarah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pendidikan. Hal ini berarti, perkembangan pendidikan merupakan fungsi perkembangan sejarah masyarakat. Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa keengganan kita belajar dari sejarah telah mengakibatkan kita menuai kegagalan sebagai bangsa disaat ini.

Beberapa penyebab diantaranya telah kita simak pada bagian terdahulu. Maka, pendidikan untuk masa depan haruslah mengindikasikan agar dunia pendidikan kita dibebaskan dari suasana bisnis, agen perpanjangan kapitalisme gaya baru : kapitalisme pendidikan. Kurikulum pendidikan juga sudah saatnya berangkat dari sebuah realitas masyarakat, penataan kembali pendidikan agama, penanaman demokrasi dan menumbuhkan pemikiran kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan hanya kognitif semata, maka tinjauan apektif harus pula dijadikan bahan acuan dalam menjalankan proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk keterampilan sosial (sosial skills) dan keterampilan hidup (life skills).

Potret pendidikan kita dimasa depan adalah tergantung dari sekarang. Rancangan Undang Undang Sitem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang sampai saat ini tetap menjadi polemik, mudah-mudahan dapat menjawab permasalahan pendidikan kita. Semoga, tidak ada lagi pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga pendidikan seperti yang ungkapkan Roem Topatimasang, "Jika sekarang banyak orang berwatak dan bersikap 'setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat lagi setan', merupakan hasil bentukan sekolah




Kata Kunci/ keyword Terkait dengan artikel ini : pendidikan, pendidikan nasional, makalah pendidikan, pendidikan agama, menteri pendidikan, menteri pendidikan nasional, pendidikan usia dini, pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, pendidikan di indonesia, departemen pendidikan, manajemen pendidikan, pendidikan teknologi, teknologi pendidikan, masalah pendidikan, pidato tentang pendidikan, tingkat pendidikan, pendidikan lingkungan hidup, evaluasi pendidikan, pendidikan pancasila, pentingnya pendidikan, pendidikan nasional indonesia, menteri pendidikan 2010, website pendidikan, pendidikan ppt, departemen pendidikan nasional, komunikasi pendidikan, standar nasional pendidikan, standar pendidikan nasional, pendidikan seks, logo pendidikan, pendidikan internet, kata kata pendidikan, teknologi dan pendidikan, uu pendidikan, inovasi pendidikan, pendidikan luar sekolah, pendidikan menurut islam, kementerian pendidikan nasional, journal pendidikan, aliran pendidikan, pendidikan tik, pendidikan dan kebudayaan, undang-undang pendidikan, pendidikan hukum, dinas pendidikan nasional, internet dalam pendidikan, internet untuk pendidikan, pendidikan jepang, pembiayaan pendidikan, artikel pendidikan indonesia, pendidikan kimia, lembaga pendidikan islam, perkembangan pendidikan indonesia, kementrian pendidikan, info pendidikan, blog pendidikan, uu pendidikan nasional, tujuan pendidikan jasmani, dasar-dasar pendidikan, pendidikan dan pembangunan, pendidikan pesantren, www.pendidikan, manajemen pendidikan islam, reformasi pendidikan, pendidikan diindonesia, hadits tentang pendidikan, komputer dalam pendidikan, menteri pendidikan indonesia, mentri pendidikan, depdiknas.go.id, macam-macam pendidikan, dasar pendidikan nasional, pendidikan sebagai sistem, kementrian pendidikan nasional, penilaian dalam pendidikan, pendidikan kewirausahaan, nilai-nilai pendidikan, aliran-aliran pendidikan, biaya pendidikan itb, faktor-faktor pendidikan, uud pendidikan, pendidikan tradisional, pendidikan sebagai ilmu, nama menteri pendidikan, pendidikan masa kini, jenis-jenis pendidikan, departemen pendidikan indonesia, tokoh-tokoh pendidikan, artikel pendidikan jasmani, pemerataan pendidikan, pendidikan.com, unsur-unsur pendidikan, artikel pendidikan nasional, prinsip-prinsip pendidikan, prinsip pendidikan islam, contoh pantun pendidikan, teori-teori pendidikan, multimedia dalam pendidikan, artikel dunia pendidikan, lambang departemen pendidikan.


MENUJU PENDIDIKAN INTERNASIONAL

Pendidikan Internasional, Bagaimanakah Makna Sebenarnya ?

Dulu, menteri pendidikan selalu diidentikkan dengan perubahan kurikulum. Setiap ada pergantian kabinet dan perubahan jajaran menteri, pastilah akan diikuti oleh perubahan kurikulum. Namun, dengan dicanangkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diharapkan bahwa kurikulum pendidikan tidak akan selalu berubah dan berubah.

KBK sendiri masih agak dirisaukan oleh beberapa pendidik. Bukan karena KBK-nya, namun sosialisasinya yang masih dianggap kurang bergema. Tugas para pendidik sekarang adalah memahami arti KBK sesungguhnya dan sebenar-benarnya sehingga para pendidik akan mampu mengimplementasikan sistem tersebut ke dalam pembelajaran dengan para anak didiknya.

Namun tugas mendidik bukan hanya ada di beban para pendidik (guru) saja, semua lapisan masyarakat, lingkungan kecil (keluarga) dan pemerintah mengambil peranan dalam mendidik anak bangsa.


Pendidikan Internasional.

Belakangan ini muncul tren di beberapa sekolah yang mengklaim dirinya menerapkan pendidikan internasional. Dengan mengadopsi kurikulum asing dan mendatangkan para pengajar dari negara asal kurikulum, sekolah-sekolah ini berani menyebutkan bahwa kurikulum mereka berkualitas pendidikan internasional.

Sebenarnya standar pendidikan internasional bukan sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional. Bukan hanya pada kulitnya. Harusnya pendidikan internasional bukan melulu mempromosikan penggunaan bahasa asing. Pendidikan internasional harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya berpikir secara terbuka dan internasional, open and international minded. International minded dimana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi manusia yang 'berwarga negara internasional' atau istilahnya sebagai global citizen. Jadi pendidikan internasional bukan sekedar kulit belaka, namun lebih pada esensi yang terletak di dalamnya, dalam pembelajarannya.

Dalam pendidikan internasional, kurikulum yang diterapkan boleh-boleh saja kurikulum nasional, tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk ber-internasional. Artinya, anak didik dijejali dengan pendidikan akan hidup dalam suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, diberikan makna perdamaian internasional, dan arah kehidupan yang lebih baik. Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus diterapkan secara nyata.

Dalam four pillars of education in UNESCO, ada empat dasar pendidikan, yakni: Learning to Know (Belajar untuk mengetahui); Learning to Do (Belajar untuk bertindak); Learning to Be (Belajar untuk menjadi (seseorang); dan Learning to Live Together (Belajar untuk hidup bersama). Empat dasar ini adalah pegangan kita dalam penerapan semua kurikulum pendidikan di negara kita.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah sistem pendidikan kita sudah mengacu ke sana? Apakah dengan dicanangkannya sistem baru, Kurikulum Berbasis Kompetensi, kelak akan muncul manusia Indonesia yang berbudi luhur dan berpikiran internasional? Semua ini pekerjaan rumah kita bersama.

Program Dasar Organisasi Internasional Baccalaureate/ IB-PYP (International Baccalaureate-Primary Years Programme)

Adalah PYP-Primary Years Programme, program yang berasal dari organisasi internasional Baccalaureate yang non-profit dan bermarkas di Jenewa. Ada lima belahan dunia sebagai anak cabang IBO (International Baccalaureate Organization), dan Indonesia masuk belahan wilayah Asia Pasifik yang bermarkas di Singapura. Program ini sudah diimplementasikan oleh lebih dari 1500 sekolah di lebih dari 115 negara. PYP didesain untuk anak didik usia 3-12 tahun, yakni setara dengan pra-sekolah/ TK dan tingkat dasar/ SD. Selain PYP, IBO mempunyai program MYP (Middle Years Programme) untuk para didik seusia SMP dan SMU (11-16 tahun); dan Diploma untuk usia 16-18 tahun.

Di Indonesia telah banyak sekolah yang menerapkan program ini. Khususnya yang berada di kota-kota besar, mulai dari Medan, Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya dan Bali. Program ini bukan hanya diimplementasikan di sekolah-sekolah dengan seting internasional saja tetapi bisa juga diterapkan di sekolah-sekolah berseting berbeda. Bahkan di Australia, program ini juga diterapkan di sekolah milik pemerintah. Kebanyakan sekolah di Indonesia yang menerapkan program PYP adalah yang dulunya mengidentifikasikan dirinya dengan label Sekolah National-Plus. Meskipun sampai kini masih banyak juga yang memperkenalkan diri sekolahnya dengan sebutan Sekolah National-Plus. Program PYP benar-benar program berstandar internasional dalam arti yang sesungguhnya, karena dalam program ini selain menerapkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai satu dari mata pelajarannya, Bahasa Ibu, dalam hal ini Bahasa Indonesia- bila diterapkan di Indonesia, masih harus dipakai. Anak didik harus tetap dikenalkan dengan budaya local dan harus tetap diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya. Namun pada saat bersamaan, program ini membuat anak didik untuk berpikir secara internasional dengan cara mengajak mereka untuk peduli akan situasi yang ada di dunia luar - Act locally, think globally. Juga dengan cara mengajarkan kepada anak didik adanya perbedaan di antara sesama, dan dengan cara menerapkan profil-profil manusia yang mengarah ke dalam kehidupan yang lebih baik.

Profil siswa PYP adalah yang 'berpengetahuan (knowledgeable); punya rasa ingin tahu (inquirer) yang berani mengambil resiko (a risk-taker); yang peduli (caring) namun tetap berprinsip (principle); pemikir sejati (thinker) yang berpikiran terbuka (open minded); seimbang secara fisik-mental-rohani (well-balanced); mampu berkomunikasi (communicator); juga bisa berefleksi (reflective).

Dalam PYP, pelajarannya terintegrasi (dengan sebutan interdisciplinary) dengan halus. Antara pelajaran Bahasa (baik Bahasa Indonesia dan Inggris), Pendidikan Sosial dan Ilmiah, Seni dan Ketrampilan dan Pendidikan Jasmani terjalin korelasi yang baik karena tersusun dengan adanya unit pembelajaran. Ada enam unit yang dipelajari para siswa di tingkat level yang berbeda dalam satu tahun ajaran, mulai dari membahas diri kita sebagai manusia sampai dengan pembahasan tentang kehidupan kita di bumi untuk berbagi dan menjaga sumber-sumber kekayaan alam yang terbatas ini dengan sesama. Enam unit tersebut adalah Who We Are/ Siapa Diri Kita, Where We Are In Place and Time/ Dimana Kita Pada Tempat dan Waktu Tertentu, How We Express Ourselves/ Bagaimana Kita Mengekspresikan Diri Kita, How The World Works/ Bagaimana Dunia Bekerja, How We Organize Ourselves/ Bagaimana Kita Mengatur Diri Kita dan How We Share The Planet/ Bagaimana Kita Berbagi Planet.

Dalam pembelajaranya, PYP menggunakan semua yang ada di kelas (baik guru maupun teman) dan di luar kelas (keluarga dan lingkungan) sebagai sumber-sumber belajar. Jadi sumber belajar bukan terbatas pada buku saja. Seringkali lingkungan yang tidak kita duga sebagai sumber belajar, dapat menjadi sumber belajar yang menakjubkan. Contoh nyata adalah ketika pembahasan unit How We Express Ourselves, tentang tata cara berkomunikasi baik dengan atau tanpa kata-kata, maka pada kesempatan tersebut para peserta didik diajak mengunjungi teman-teman yang kekurangan (yang tidak dapat mendengar dan berbicara / tuna rungu-tuna wicara dan juga yang tidak dapat melihat - tuna netra). Dalam interaksinya dengan para siswa yang kekurangan ini, selain belajar tentang bagaimana berkomunikasi dalam bentuk yang berbeda, para siswa PYP secara tidak langsung belajar bagaimana menerima perbedaan dan kekurangan sesama. Secara langsung dan nyata, semua siswa (baik yang kekurangan dan yang tidak) belajar berbagi dalam makna yang sesungguhnya. Mereka berbagi rasa, berbagi cerita dan tentu saja berbagi pengalaman.

'Pengalaman adalah guru yang terbaik'. Demikian kata pepatah. Namun benarlah juga, karena para siswa yang duduk di bangku sekolah dasar adalah mereka yang masih muda dan segar dalam menghadapi dan menjalani hidup. Dengan berpengalaman langsung, maka arti pembelajaran menjadi lebih signifikan dan bermakna.

PYP dan KBK

PYP menggunakan sistem KBK. PYP menempatkan anak didik sebagai subjek pembelajaran. Bukan sebagai objek. Anak didik ditempatkan pada tingkat paling atas. Students as the center of learning. Anak didik juga harus berperan aktif. Anak didik diajak ke dalam seting pembelajaran yang terdesain untuk melihat kemampuan dan kompetensi siswa secara individu, karena setiap siswa adalah berbeda. Every child is unique.

PYP dan KBK sama-sama menerapkan activity-based learning/ pembelajaran berdasar kegiatan. Sehingga tugas para siswa adalah aktif 'bekerja' untuk mendapatkan pengetahuan, menemukan konsep dan mengasah ketrampilan, tanpa melupakan nilai-nilai perilaku/ attitudes.

Sama. PYP dan KBK juga sama-sama mempunyai tujuan mendidik peserta didik menjadi manusia sesungguhnya, yang mempunyai kemampuan individu yang tangguh dan mampu memecahkan masalah (problem solver) tanpa harus menunggu diberi, juga manusia yang tidak meninggalkan sisi-sisi nilai kemanusian (profil kemanusian) yang terbuka dan berpikiran secara internasional.

Di dalam PYP ada istilah 'inquiry based learning' yaitu pembelajaran berdasarkan inquiry. Kata inquiry bermakna 'suka mencari tahu'. Penerapannya dalam kegiatan belajar-mengajar adalah para peserta didik diajak untuk mempunyai rasa penasaran akan hal-hal yang belum diketahuinya melalui pembelajaran yang aktif dan terseting dalam suasana penelitian/ riset sederhana. Anak didik akan diajak untuk berpikir, dan mengalami sendiri. Dengan melakukan sendiri, maka para peserta didik akan lebih mampu memaknai arti pembelajaran yang sesungguhnya. Inquiry - suka mencari tahu dengan belajar - ini bisa dilaksanakan dalam KBK.

Untuk memiliki sifat suka belajar, para peserta didik harus ditempatkan ke dalam suasana yang aman, nyaman dan menyenangkan. Suasana yang enjoy-ful, fun but healthy adalah suasana kelas seting PYP dan KBK. Siswa akan senang belajar. Belajarnya bukan karena terpaksa, karena harus menghafal isi halaman buku, dan bukan hanya karena akan ada ulangan pada keesokkan harinya, tetapi mereka benar-benar senang belajar. Para siswa ini nantinya akan menjadi manusia yang senang belajar sepanjang hidupnya (life-long learners). Ini adalah harapan kita semua, bukan?

Peranan para pendidik di konsep pendidikan internasional

Dalam penerapannya di kurikulum, KBK bisa masuk ke dalam semua kegiatan pembelajaran. Kurikulum (yang) Berdasarkan Kemampuan siswa wajib dilihat para pendidik sebagai dasar melangkah ke tingkat selanjutnya. Dalam arti, setiap individu tidak sama. Ada yang cepat dalam hal menangkap makna pembelajaran, namun ada pula yang lambat. Ada yang mempunyai gaya belajar yang unik, misalnya suka mendengar daripada menulis, maka para pendidik wajib mengenali gaya belajar ini. Ada juga siswa yang enggan melakukan kegiatan karena merasa kemampuannya sudah lebih daripada teman-temannya, maka sekali lagi tugas para pendidk untuk mengakomodasi setiap perbedaan dan keunikan para anak didiknya di kelas.

Cara atau strategi yang diterapkan dalam PYP dan KBK adalah sama. Yakni hubungan yang terjalin antara para pendidik dan para anak haruslah hubungan yang erat dan sehat. Perlu digarisbawahi bahwa para pendidik bukanlah orang yang mengetahui segala tentang ilmu pengetahuan, bukan pula orang yang harus ditakuti (namun dihormati), tetapi peran para pendidik adalah sama dengan para anak didik, yakni mereka sama-sama pembelajar. Demikian sebaliknya, anak didik wajib terbuka dan berani bertanya kepada para pendidik tentang apa yang hendak diketahuinya.

Para pendidik wajib memberi kesempatan kepada anak didik untuk mengutarakan ide atau pemikirannya. Ada siswa yang sangat terbuka, karena memang sudah demikian personality-nya, namun ada pula siswa yang introvert. Maka para pendidik wajib sabar menunggu dan memandu.

Tugas para pendidik dan anak didik di seting KBK adalah sebagai pembelajar yang sama-sama aktif, baik secara individu maupun secara kelompok. Adakalanya kegiatan individu berjalan dengan baik, karena sudah terseting dari awal dalam suasana yang mendukung. Misalnya dalam suasana kelas yang harmoni dengan adanya peraturan kelas yang ditaati oleh semua anggota kelas. Namun ada kalanya, rencana kegiatan belajar tidak berjalan sesuai harapan. Semua ini wajar-wajar saja. Baik dalam PYP maupun KBK, semua proses pembelajaran wajib dimaknai. Bukan hanya melihat pada product atau hasil akhirnya saja, namun process over product pun penting untuk direfleksikan. Maka pendidikan yang membuat siswa yang memiliki pemikiran terbuka dan internasional, harus tetap tentu diterapkan- makna sesungguhnya pendidikan internasional.

Peranan para pendidik di kelas adalah sebagai pembimbing, fasilitator/ pemandu, motivator dan juga sebagai penilai kemampuan siswa. Di sisi lain, peranan pendidik adalah sebagai pendisain dan pelaksana kurikulum, dan tentu saja sebagai manajer kelas dan anak didik.

Dalam pendidikan internasional, para pendidik harus pandai menyelipkan nilai-nilai kemanusian ke dalam semua mata pelajaran dan dalam semua kegiatan secara berkelanjutan. Kegiatan yang dirancang haruslah sedemikian rupa sehingga anak didik tidak hanya belajar ilmu, namun juga belajar nilai.

Tugas ini tentu saja bukan tugas ringan. Apalagi dengan adanya keterbatasan pengetahuan dan pemahaman kita sebagai manusia, namun alangkah baiknya bila kita saling berbagi. Berbagi dalam segala informasi dan pengetahuan, sehingga semua yang kita ajarkan kepada para peserta didik benar-benar yang bermakna.

Dengan belajar sendiri (membaca maupun berdiskusi) maupun mengunjungi sekolah-sekolah yang sudah menerapkan KBK, maka diharapkan semua pendidik memiliki pemahaman serupa tentang KBK. Sehingga 'pendidikan internasional' bukan sekedar di kulit belaka, namun bisa diterapkan ke dalam semua level sekolah yang ada di seluruh nusantara.


Kata Kunci/ keyword Terkait dengan artikel ini : pendidikan, pendidikan nasional, makalah pendidikan, pendidikan agama, menteri pendidikan, menteri pendidikan nasional, pendidikan usia dini, pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, pendidikan di indonesia, departemen pendidikan, manajemen pendidikan, pendidikan teknologi, teknologi pendidikan, masalah pendidikan, pidato tentang pendidikan, tingkat pendidikan, pendidikan lingkungan hidup, evaluasi pendidikan, pendidikan pancasila, pentingnya pendidikan, pendidikan nasional indonesia, menteri pendidikan 2010, website pendidikan, pendidikan ppt, departemen pendidikan nasional, komunikasi pendidikan, standar nasional pendidikan, standar pendidikan nasional, pendidikan seks, logo pendidikan, pendidikan internet, kata kata pendidikan, teknologi dan pendidikan, uu pendidikan, inovasi pendidikan, pendidikan luar sekolah, pendidikan menurut islam, kementerian pendidikan nasional, journal pendidikan, aliran pendidikan, pendidikan tik, pendidikan dan kebudayaan, undang-undang pendidikan, pendidikan hukum, dinas pendidikan nasional, internet dalam pendidikan, internet untuk pendidikan, pendidikan jepang, pembiayaan pendidikan, artikel pendidikan indonesia, pendidikan kimia, lembaga pendidikan islam, perkembangan pendidikan indonesia, kementrian pendidikan, info pendidikan, blog pendidikan, uu pendidikan nasional, tujuan pendidikan jasmani, dasar-dasar pendidikan, pendidikan dan pembangunan, pendidikan pesantren, www.pendidikan, manajemen pendidikan islam, reformasi pendidikan, pendidikan diindonesia, hadits tentang pendidikan, komputer dalam pendidikan, menteri pendidikan indonesia, mentri pendidikan, depdiknas.go.id, macam-macam pendidikan, dasar pendidikan nasional, pendidikan sebagai sistem, kementrian pendidikan nasional, penilaian dalam pendidikan, pendidikan kewirausahaan, nilai-nilai pendidikan, aliran-aliran pendidikan, biaya pendidikan itb, faktor-faktor pendidikan, uud pendidikan, pendidikan tradisional, pendidikan sebagai ilmu, nama menteri pendidikan, pendidikan masa kini, jenis-jenis pendidikan, departemen pendidikan indonesia, tokoh-tokoh pendidikan, artikel pendidikan jasmani, pemerataan pendidikan, pendidikan.com, unsur-unsur pendidikan, artikel pendidikan nasional, prinsip-prinsip pendidikan, prinsip pendidikan islam, contoh pantun pendidikan, teori-teori pendidikan, multimedia dalam pendidikan, artikel dunia pendidikan, lambang departemen pendidikan.

SEKOLAH SULIT MENYOSIALKAN PELAJARAN

Sekolah Sulit Menyosialkan Pelajaran

Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membantu anak menjadi orang dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sosialisasi!
Semua manusia muda, sampai di pelosok pun, telah atau mulai mengalami modernisasi dan menikmatinya. Kata dasar modernisasi adalah kata Latin modus, artinya: cara. Kemudian timbul kata Prancis mode, yaitu cara khusus mengenai berpakaian, berdandan, memangkas rambut, berhias sampai bergagasan. Lantas orang yang mengikuti cara, mode, itu dikatakan modern. Usaha penyesuaian itu disebut modernisasi. Yang kemudian artinya diterapkan kepada setiap ikhtiar guna membedakan diri dari cara yang sudah lewat. Usaha modernisasi ini dapat bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa yang sekarang berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan yang sudah usang demi perbaikan hidup.
Sikap yang mendasari keinginan menyesuaikan diri dengan yang sekarang berlaku sebetulnya bukan modernisasi, melainkan konformisme. Dalam modernisasi sejati ada pendapat pribadi mengenai yang baru itu, sedang dalam konformisme hanya sikap ikut-ikutan saja. Gaya konformisme sangat kuat di antara kaum muda. Mereka baru meraih identitas diri yang masih lemah, maka dibutuhkan pengukuhan atas identitas tersebut. Yang amat diperlukan adalah diterimanya oleh kelompok baya, peer group, yang dianggap paling modern.
Apakah sebetulnya kelompok tersebut modern atau kolot pandangan hidupnya, bukan hal penting. Yang dicari adalah pengukuhan dan penggalangan lewat diterima oleh kelompok baya. Kelompok itu akan menuntut penyesuaian mutlak guna mempertahankan identitas kelompok. Jadi, pengukuhan demi menopang identitas diri yang masih lemah itu diperoleh lewat konformisme. Kalau kelompoknya sungguh-sungguh mendukung modernisasi, ia akan ikut. Namun, bila mereka bernostalgia akan hidup primitif, suatu mode baru, ia pun akan suka hidup primitif.

Berbahaya

Konformisme inilah yang berbahaya, karena mematikan identitas diri. Selama pada masa perkembangan hanya ikut-ikutan saja, orang muda akan menjadi orang dewasa yang tidak dapat bertanggung jawab, tidak berinisiatif, dan pembeo belaka. Kegotongroyongan dan mental pasrah terserah nasib, yang mudah terhanyut dalam arus masyarakat, sangatlah kuat. Orang yang mengungkapkan kepribadiannya yang khas sangat mudah dicap individualis, sombong, ingin menonjol, dan sebagainya.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka pada pakaian seragam, satu bahasa, satu gerak dan sebagainya; penuh dengan orang yang suka ikut-ikutan, dan berkecenderungan latah ikut mode macam-macam tanpa berpikir, apa perlu atau tidak, baik atau tidak. Lebih suka hanyut dalam arus daripada ribut-ribut, walaupun jelas arus itu keliru. Jarang ditemukan orang yang benar-benar berkepribadian, dan yang berani menanggung risiko untuk teguh mampu bersikap lain dari sikap kebanyakan orang yang memang kaprah tersebar luas, tetapi salah. Seolah-olah kita berpendirian "lebih aman hancur bersama-sama orang banyak daripada benar lagi selamat tetapi sendirian".
Yang sekarang amat memprihatinkan adalah bahwa konformisme itu, yang menjadikan mereka orang yang dikolektivisasi, tidak diatasi oleh pendidikan yang mendewasakan, akan tetapi justru terus-menerus diperkuat oleh pendidikan yang ciri khasnya seragam. Sistem pendidikan maupun pembelajaran kita mendukung kolektivisasi, dengan demikian justru mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi penurut.
Proses ini sudah dimulai pada saat manusia lepas dari keadaan yang diciptakan Tuhan, yaitu keluarga. Mulai TK sampai dengan SMU dan SMK, segala-galanya harus seragam. Pakaian, sepatu, peci, rambut, semua uniform ialah bentuk yang sama. Seragam. Di perguruan tinggi tidak ada pakaian seragam. Namun, kurikulum, sistem ujian, matakuliah-matakuliah efektif, praktikum, semua seragam dan sama. Keseragaman berpikir. Kreatif? Mustahil. Menjadi pegawai negeri, pakaian seragam; dan di kantor-kantor terdapat buku pedoman, buku petunjuk pelaksanaan, agar tidak ada ruang berpikir bebas dan hanya boleh mengikuti pikiran yang berkuasa. Terjadi kolektivisasi secara mutlak. Apakah ini orang yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat modern? Jelas bukan!
Pembangun masyarakat modern adalah mereka yang tahu akan dan menerima baik keunggulan maupun kelemahannya. Ia tidak dihinggapi oleh kerendahan hati palsu, karena ia sadar akan dan bangga atas kepribadiannya yang berharga dan penting juga bagi sesama. Ia mempergunakan kemampuannya secara penuh. Ia pantang mundur kendati ada kekurangan padanya. Ia menerima dirinya sendiri maupun orang lain apa adanya. Ia tidak berkelit menghadapi kenyataan, sebaliknya ia berani to face the facts, beradu dada dengan kenyataan. Pendek kata, laki-laki dan perempuan yang kompeten, bertanggung jawab dan penuh perhatian untuk sesama mereka. Mereka adalah pribadi mandiri dan kreatif yang merupakan daya manusia, human resources, untuk modernisasi sejati.
Lagi, yang memprihatinkan adalah bahwa sistem pendidikan dan pembelajaran kita, sistem persekolahan kita, mustahil menjadi sumber daya manusia itu, hanya bisa menjadi sumber anggota kolektivisme yang mustahil berkepribadian dan mustahil kreatif. Bukan karena orang Indonesia. Anak-anak Indonesia amat kreatif dan kadar kemandiriannya sangat tinggi, karena mereka belum masuk sistem kolektivisasi yang disebut sekolah sampai dengan perguruan tinggi.
Kolektivisasi itu adalah musuh utama dari sosialisasi. Sosialisasi adalah usaha menjadikan manusia muda menjadi pribadi dewasa mandiri yang kompeten, bertanggung jawab dan memiliki kepedulian sosial tinggi. Pribadi itu percaya akan diri sendiri, tidak merasa rendah diri, terbuka, dan menerima semua orang lain, walau orang itu berbeda pendapat. Sebaliknya, hasil kolektivisasi adalah orang seperti anggota kawanan, tidak berkepribadian, selalu bertumpu pada orang lain dan pendapatnya.
Sekolah-sekolah kita mustahil mengadakan sosialisasi. Selain sistem persekolahan kita, sikap para pengajar dan pendidik yang masih amat feodal, keadaan sekolah-sekolah kita tidak memungkinkan adanya sosialisasi. Populasi sekolah merupakan kumpulan orang muda dari SD sampai SMU, yang terdiri atas individu-individu yang tidak mempunyai tujuan lain selain mengembangkan intelektualitas masing-masing. Itulah memang hakikat sebuah sekolah. Hubungan antara individu satu dengan individu yang lain terjadi hanya selama beberapa jam di sebuah ruangan yang sama. Tidak ada hubungan sedarah sedaging seperti di keluarga, juga tidak ada hubungan senasib seperti di sebuah asrama. Masuk ruangan itu dari mana-mana dan pergi meninggalkan ruang itu kemana-mana.
Sebuah sekolah bukanlah tempat untuk sosialisasi. Para pelajar hanya tahu nama anak sekelas, yang lain adalah orang asing bagi mereka. Kalau dari satu kelas ada yang sungguh-sungguh menjadi teman, itu bukan karena sekelas akan tetapi karena tetangga sekompleks, seorganisasi, Gereja, Masjid, atau seperkumpulan olahraga. Memaksa sosialisasi dengan mewajibkan mengikuti salah satu ekstrakurikuler adalah salah besar, karena akibatnya justru kebalikannya, yaitu kolektivisasi dan kebencian terhadap ekstrakurikuler. Sosialisasi berasal dari kata Latin socius yang berarti teman, rekan, sahabat. Masakan persahabatan bisa dipaksakan dan diorganisir?

Sebab Lain

sebab lain, mengapa sosialisasi tidak mungkin terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia. Kebanyakan orangtua tidak mendidik anak mereka untuk menerima diri sendiri apa adanya. Tidak boleh ada anak yang lebih daripada anak mereka. Akibatnya pelajar kita pasif, tidak berani bertanya di kelas. Itu benar. Sebab kalau seorang pelajar bertanya, seluruh kelas mulai berteriak goblok-goblok-goblok atau carmuk-carmuk-carmuk (cari muka). Tidak boleh ada anak lain yang menonjol. Pelajar-pelajar tidak berani mendapat nilai tinggi, karena langsung dicap sombong, egoistis. Saya alami bahwa lima anak menteri melarikan diri dari SMU-SMU saya karena diteror oleh pelajar-pelajar lain "Kamu diterima karena ayahmu menteri". Mana tahan! Di UI terjadi yang sama.
Itulah pengalaman saya selama 16 tahun di sekolah-sekolah favorit di Jakarta. Anak-anak kita amat iri hati. Tidak dapat menerima bahwa di sekolah ada pelajar yang lebih pandai dari mereka atau orang tua yang lebih tinggi posisinya atau lebih kaya. Tidak ada masalah, selama pelajar tidak mengetahui siapa orangtua pelajar-pelajar lain. Itulah akibat pola pendidikan tertentu yang tidak menjadikan anak menerima diri apa adanya.
Ada anak sulung yang prestasinya di sekolah 6-6,5. Adiknya amat pandai, 9 itu prestasinya. Ibu muncul dan menegur si adik. Jangan menonjol, 7 cukup karena nanti kakakmu tersinggung. Kedua anak ini hancur. Yang sulung merasa didukung bahwa tidak boleh ada anak yang lebih pandai daripada dia. Ia makin iri hati. Adiknya mogok studi. Ada hasil malah dimarahi. Bagaimana cara yang baik mendidik kedua anak itu? Kepada yang sulung harus diberitahu bahwa Bapak dan Ibu puas dengan nilai-nilainya. Tidak perlu lebih, tiap-tiap anak harus berprestasi sesuai dengan kemampuannya. Ia harus bangga bahwa mempunyai adik yang pandai. Kepada si adik: Belajarlah terus, berprestasilah sesuai kepandaianmu. Kami sekeluarga bangga atas nilai-nilaimu. Kamu boleh bangga, tetapi jangan menganggap remeh mereka yang tidak sepandai kamu. Untuk kehidupanmu nanti yang penting tidak hanya menjadi orang pandai. Dua anak ini akan menjadi pribadi dewasa mandiri. Banyak masalah di sekolah ber-asal dari sikap Ibu yang menuntut bahwa semua anaknya harus menjadi pandai, peringkat I, kalau perlu memakai guru-guru les. Kepribadian anak yang diperlukan demikian akan menjadi amat lemah, tidak mempunyai rasa percaya diri. Sosialisasi gagal.

Sekolah pada umumnya dan keadaan sekolah di Indonesia pada khususnya bukan tempat yang baik untuk sosialisasi. Keluarga dan masyarakat itulah tempat orang menjadi manusia yang berkepedulian sosial tinggi.

PENDIDIKAN VISI KERAKYATAN

Pendidikan Visi Kerakyatan

Adakah pendidikan yang bersifat netral ?

Sepertinya kita sangat kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini. Secara konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja berpijak dan berpihak kepada suatu aliran filsafat-nya. Paradigma Pendidikan Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran Filsafat Skolastik yang cenderung determinis (jabbariah : fatalistik). Paradigma ini sangat fatalistik sebab hanya memahami suatu kondisi sosial sebagai "suratan takdir". Apa yang telah terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Di sini pula kita mendapatkan suatu kesalahan berpikir yang disebut dengan fallacy of retrospective determinism. Kesalahan berpikir yang hanya memahami suatu keadaan sosial sebagai kenyataan yang sudah seharusnya terjadi. Atau ketika kondisi seperti ini dipahami melalui paradigma pemikiran Paulo Freire lebih tepat disebut dengan "kesadaran magis" (magic conscious).
Untuk Paradigma Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari dasar filosofis-nya yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan yang melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan yang mengedepankan aspek pengembangan potensi, perlindungan hak-hak dan kebebasan (freedom). Paham individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan liberal.
Sementara paradigma positivistik (empirisme) memiliki karakter khusus seperti empiris (indrawi), universalisme dan generalisasi melalui kumpulan-kumpulan teori (Schoyer, 1973). Akan tetapi Mazhab Positivisme telah terbantahkan melalui gagasan-gagasan dari Jurgen Habermas, seorang tokoh utama "Mazhab Frankfurt" (Frankfurt School). Kritik Habermas terhadap positivisme meliputi pertama; instrumental knowledge yang bertujuan untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi serta eksploitasi terhadap obyek. Kedua; hermeneutic knowledge yang bertujuan hanya untuk memahami saja. Dan ketiga; critical knowledge atau emansipatory knowledge yang menempatkan pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan manusia (Bottomore, 1984).
Pendidikan Kritis (Radikal) juga tidak lepas dari keberpihakan. Paradigma pendidikan ini menghendaki adanya perubahan sosial (social change) yang berkeadilan. Jadi tidak ada unsur yang dominan dan menindas dalam struktur sosial yang nantinya akan menyudutkan salah satu dari unsur sosial di dalamnya.
Karena paradigma pendidikan tidak mungkin bersifat netral sama sekali, maka kemanakah pendidikan itu seharusnya berkiblat? Inilah sebenarnya persoalan yang paling signifikan dalam kaitannya dengan visi pendidikan. Hendak diarahkan ke mana keberpihakan pendidikan itu ?.
Jika Prof. Proopert Lodge memiliki pandangan "live is education and education is live" (kehidupan itu adalah proses pendidikan dan proses pendidikan itu adalah kehidupan), sebenarnya antara pendidikan dengan proses kehidupan tidak ada bedanya. Adapun yang dimaksud dengan proses kehidupan adalah hubungan manusia dengan manusia lain yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi, kondisi serta struktur (tatanan) sosial yang akan memposisikan-nya dalam fungsi yang berbeda-beda. Kemudian proses kehidupan itu juga akan melahirkan tipe-tipe manusia yang berbeda-beda pula.
Jika saja kita menganalisa tipe-tipe manusia dengan menggunakan teori konflik, kondisi suatu tatanan sosial dihadapkan pada dua sisi yang saling kontradiksi. Realitas sosial akan menampakkan dua sisi yang saling berhadap-hadapan seperti adanya penguasa tentu di sisi lain ada yang dikuasai, ada kelompok kuat, tentu di sisi lain terdapat pihak yang lemah dan seterusnya. Inilah yang kami maksud dengan dua realitas yang saling kontradiksi itu.
Kondisi yang tidak berimbang sebab dominasi peran suatu kelompok dalam masyarakat kemudian melahirkan penindasan, tekanan-tekanan dan mungkin juga kekerasan fisik. Akibatnya struktur sosial yang ada hanya mewakili dari "sistem tuan dan budak". Kelompok lemah akan semakin tertindas dan hidup dalam keterbelakangan. Potensi-potensi manusiawi telah dinafikan akibat struktur yang membentuk antagonisme itu.
Bagi Paulo Freire, kondisi seperti itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setiap penindasan apapun bentuknya tetap dinilai tidak manusiawi (dehumanisasi). Oleh karena itu proses pendidikan harus memuat agenda untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Masyarakat yang tertindas itu nantinya hanya akan semakin tengelam dalam "kebudayaan bisu" (sub merged in the culture silence), yaitu suatu kondisi yang senantiasa dalam ketakutan dan ketidakberdayaan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, 2001). "Bahasa diam" kemudian menjadi semakin sakral dan harus selalu dihormati.
Ketimpangan sosial akibat dominasi peran (fungsi) dari sekelompok orang yang merasakan kenyamanan di atas penderitaan orang lain bukanlah kondisi yang harus dibiarkan begitu saja. Freire menggarisbawahi bahwa pendidikan harus bertujuan untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut atau tertekan akibat otoritas kekuasaan. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan untuk membebaskan kaum tertindas harus didasarkan atas semangat optimisme, sikap kritis dan resistent. Optimisme berarti merubah pola pikir masyarakat dari kesadaran magis (magic consciousness) yang sangat determinis itu. Sikap ini merupakan langkah awal untuk mengubah sistem yang ada karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki "kehendak" (will) dan "kebebasan" (freedom) untuk menentukan nasibnya sendiri. Karena itulah, seseorang harusnya optimis dalam menghadapi proses kehidupan ini. Semuanya penuh dengan "keserbamungkinan".
Sementara sebagai manusia yang normal pasti ia akan memilih kehidupannya yang terbaik.
Sikap kritis adalah langkah berikutnya bahwa seseorang harus mampu melihat secara analitis persoalan-persoalan realitas dan dirinya serta mampu memetakan persoalan sambil memahami unsur-unsur yang mempengaruhi (dominan) suatu kondisi sosial. "Kesadaran Kritis" (critical consciousness) merupakan faktor utama bagi seorang manusia untuk bisa membaca situasi sosial sekaligus dirinya. Penyadaran (konsientisasi) dengan puncaknya yakni "Kesadaran Transformative" (transformative consiousness) adalah tujuan dari pendidikan. Demikianlah maksud dari konsep pendidikan Paulo Freire (lihat William A. Smith, 2002).
Jelaslah sudah bahwa pendidikan yang tidak bisa netral itu harus berkiblat pada suatu visi. Dan visi tersebut telah kita temukan melalui konsep pendidikan kritis yang telah digagas oleh Paulo Freire. Pendidikan harus berbasis pada kerakyatan. Struktur sosial yang dilihat dengan kaca mata konflik harus dimulai dari lapisan paling bawah atau yang sering disebut sebagai masyarakat marginal. Visi kerakyatan ini merupakan arahan agar pendidikan kita mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang bersinggungan dengan otoritas suatu kekuasaan.
Pendidikan nasional untuk saat ini sepertinya semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi sekolah-sekolah tinggi semakin jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan. Saat ini pendidikan dikelola dengan menggunakan manajemen bisnis yang kemudian menghasilkan biaya yang melangit. Biaya pendidikan makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal (kapitalis). Dengan menggunakan label sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah panutan dan sebagainya biaya pendidikan semakin mencekik "wong cilik". Pendidikan kita semakin menindas terhadap kaum marginal. Di manakah letak keadilan pendidikan kita jika sekolah yang bermutu itu hanya untuk mereka yang punya uang saja ?.
Dengan biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau oleh masyarakat marginal, kita semakin berhadapan dengan persoalan penindasan gaya baru. Penindasan yang terselubung yang secara tidak langsung menciptakan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Inilah yang kami maksud dengan penindasan gaya baru itu. Rakyat lemah tidak lagi mampu mengenyam pendidikan bermutu akibat mahal-nya biaya pendidikan itu.
Para praktisi pendidikan kita sepertinya kurang mampu memahami kaum marginal yang serba kesulitan. Mereka lebih disibukkan dengan perdebatan-perdebatan teoritis tentang kebijakan tanpa memahami secara langsung kondisi masyarakat marginal itu. Kita tentunya masih ingat dengan kasus Haryanto, seorang murid Sekolah Dasar Muara Sanding VI Garut yang putus asa lalu bunuh diri dengan menggantung diri akibat tidak mampu membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler. Orang tuanya tidak mampu memberikan biaya kegiatan yang hanya sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Ia kemudian putus asa lalu menggantung diri. Inilah salah satu dari sekian potret kaum marginal yang serba dalam kesulitan. Untuk membiayai kegiatan sekolah sebesar dua ribu lima ratus rupiah saja terasa berat sekali, apalagi biaya pendidikan dengan jumlah ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah.

Sudah saatnya para pakar pendidikan nasional memahami persoalan yang kerap kali terlupakan ini.



selesai



Kata Kunci/ keyword Terkait dengan artikel ini : pendidikan, pendidikan nasional, makalah pendidikan, pendidikan agama, menteri pendidikan, menteri pendidikan nasional, pendidikan usia dini, pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, pendidikan di indonesia, departemen pendidikan, manajemen pendidikan, pendidikan teknologi, teknologi pendidikan, masalah pendidikan, pidato tentang pendidikan, tingkat pendidikan, pendidikan lingkungan hidup, evaluasi pendidikan, pendidikan pancasila, pentingnya pendidikan, pendidikan nasional indonesia, menteri pendidikan 2010, website pendidikan, pendidikan ppt, departemen pendidikan nasional, komunikasi pendidikan, standar nasional pendidikan, standar pendidikan nasional, pendidikan seks, logo pendidikan, pendidikan internet, kata kata pendidikan, teknologi dan pendidikan, uu pendidikan, inovasi pendidikan, pendidikan luar sekolah, pendidikan menurut islam, kementerian pendidikan nasional, journal pendidikan, aliran pendidikan, pendidikan tik, pendidikan dan kebudayaan, undang-undang pendidikan, pendidikan hukum, dinas pendidikan nasional, internet dalam pendidikan, internet untuk pendidikan, pendidikan jepang, pembiayaan pendidikan, artikel pendidikan indonesia, pendidikan kimia, lembaga pendidikan islam, perkembangan pendidikan indonesia, kementrian pendidikan, info pendidikan, blog pendidikan, uu pendidikan nasional, tujuan pendidikan jasmani, dasar-dasar pendidikan, pendidikan dan pembangunan, pendidikan pesantren, www.pendidikan, manajemen pendidikan islam, reformasi pendidikan, pendidikan diindonesia, hadits tentang pendidikan, komputer dalam pendidikan, menteri pendidikan indonesia, mentri pendidikan, depdiknas.go.id, macam-macam pendidikan, dasar pendidikan nasional, pendidikan sebagai sistem, kementrian pendidikan nasional, penilaian dalam pendidikan, pendidikan kewirausahaan, nilai-nilai pendidikan, aliran-aliran pendidikan, biaya pendidikan itb, faktor-faktor pendidikan, uud pendidikan, pendidikan tradisional, pendidikan sebagai ilmu, nama menteri pendidikan, pendidikan masa kini, jenis-jenis pendidikan, departemen pendidikan indonesia, tokoh-tokoh pendidikan, artikel pendidikan jasmani, pemerataan pendidikan, pendidikan.com, unsur-unsur pendidikan, artikel pendidikan nasional, prinsip-prinsip pendidikan, prinsip pendidikan islam, contoh pantun pendidikan, teori-teori pendidikan, multimedia dalam pendidikan, artikel dunia pendidikan, lambang departemen pendidikan.

PENDIDIKAN MENURUT DALAI LAMA

Pendidikan Menurut Dalai Lama
kutipan dari buku Ancient Wisdom Modern World, Elex Media Komputindo, halaman 181

Pikiran manusia (lo) adalah sumber dan apabila diarahkan dengan tepat juga merupakan solusi bagi masalah kita. Mereka yang berpendidikan tinggi namun tidak memiliki hati yang baik dapat menjadi mangsa yang empuk bagi kecemasan dan keresahan karena keinginan yang tak terpenuhi. Sebaliknya, pemahaman murni tentang nilai-nilai spiritual justru memiliki dampak yang berlawanan. Bilamana kita mendidik anak-anak kita meraih ilmu pengetahuan tetapi tanpa rasa iba (belas kasihan), maka sikapnya terhadap sesama mungkin akan menjadi campuran dari rasa iri terhadap orang yang melebihi mereka dan persaingan yang agresif terhadap rekan sebayanya, juga mencemohkan mereka yang kurang beruntung. Ini akan menuntun kepada kecenderungan bersifat tamak, penuh prasangka, berlebihan, dan cepat merasa tidak bahagia. Ilmu pengetahuan memang penting. Ini bergantung pada hati dan pikiran pemakainya.

Pendidikan lebih dari sekadar memisahkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk meraih tujuan yang sempit. la juga membuka mata seorang anak bagi kebutuhan dan hak-hak sesamanya. Kita harus menunjukkan kepada anak-anak bahwa aksi mereka akan memiliki dimensi universal. Dan kita harus menemukan cara untuk membangun rasa simpati mereka yang wajar supaya mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesama. Karena inilah yang sebenarnya mencetuskan tindakan kita. Memang, kalau kita harus memilih antara pengetahuan dan kebajikan, maka yang terakhir itu lebih bernilai. Hati yang baik, yang merupakan buah dari kebajikan, adalah manfaat yang besar bagi kemanusiaan. Hanya ilmu pengetahuan semata, tidaklah bermanfaat.


Lalu, bagaimana seharusnya kita mengajarkan moralitas kepada anak-anak kita? Saya merasa bahwa, pada umumnya, sistem pendidikan yang modern biasanya mengabaikan pembahasan tentang masalah-masalah etika. Ini mungkin tidak dimaksudkan hanya
sebagai produk sampingan dari realitas sejarah. Sistem pendidikan duniawi dikembangkan justru ketika institusi-institusi religius masih amat berpengaruh di seluruh lapisan masyarakat. Karena nilai-nilai etis dan manusiawi sebelumnya masih dianggap termasuk dalam ruang lingkup agama maka diperkirakan segi dari pendidikan anak ini otomatis akan terpelihara melalui pendidikan agama, baik bagi anak pria maupun wanita. Semua ini berfungsi dengan baik hingga pengaruh agama mulai surut. Walaupun kebutuhannya masih ada namun tidak terpenuhi, kita harus menemukan sejumlah cara lain dalam menunjukkan kepada anakanak bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar itu penting. Dan kita juga harus membantu mereka untuk mengembangkan nilai-nilai tadi.

Akhirnya, tentu saja, pentingnya kepedulian terhadap sesama dipelajari bukan dari kata-kata melainkan dari aksi/tindakan: panutan yang kita peragakan. jadi, lingkungan keluarga itu sendiri adalah komponen yang sangat vital dalam pendidikan anak-anak. Jika atmosfir peduli dan welas asih absen dari rumah, jika anak-anak diabaikan oleh orang tua mereka, maka dapat dipastikan akan ada dampak yang merugikan. Anak-anak cenderung merasa tak berdaya dan tidak aman, dan pikirannya sering tersiksa. Sebaliknya, apabila anak-anak menerima kasih sayang yang tetap dan perlindungan, mereka cenderung untuk menjadi kian bahagia dan lebih percaya diri dalam kemampuannya. Kesehatan fisik mereka juga cenderung kian membaik. Dan, kita merasa bahwa mereka peduli bukan saja pada dirinya sendiri tetapi juga pada sesama. Lingkungan rumah juga penting karena anak-anak akan belajar tingkah-laku yang negatif dari kedua orang tuanya. Kalau, misalnya, si ayah selalu bersitegang dengan para rekannya, atau kalau ayah dan ibu selalu berdebat kusir, maka walaupun pada awalnya si anak mungkin merasa ini tidak menyenangkan, lambat-laun mereka dapat memahami bahwa itu wajar-wajar saja. Pelajaran seperti ini kemudian akan dibawa ke luar rumah dan ke dunia.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa apa yang dipelajari anak-anak tentang tingkah-laku etis di sekolah harus dipraktikkan lebih dahulu. Di sini, para guru memiliki tanggung jawab khusus. Melalui tingkah laku mereka sendiri, mereka dapat membuat anak-anak mengingat mereka sepanjang hayat. Jika tingkah laku ini dijadikan prinsip, didisiplinkan, dan dituangkan menjadi belas kasihan maka nilai-nilai mereka akan tertanam di benak si anak. Karena, pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh seorang guru dengan motivasi yang positif (kun long) akan meresap lebih dalam di benak para siswanya. Saya tahu ini dari pengalaman saya sendiri. Sebagai bocah, saya sangat malas. Namun, ketika saya mulai menyadari adanya kasih sayang dan kepedulian dari para pembimbing saya, pelajaran-pelajaran mereka pada umumnya akan meresap lebih dalam daripada jika salah satu dari mereka bersikap kasar atau tidak berperasaan ketika itu.
Sejauh itu menyangkut kekhususan pendidikan, itu adalah bidangnya para ahli. Karena itu, saya ingin membatasi diri pada sejumlah saran. Urutan pertama adalah dalam upaya membangkitkan kesadaran para kawula muda tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, lebih baik tidak menyajikan masalah-masalah sosial melulu sebagai persoalan etis atau sebagai masalah religius. Penting untuk menekankan bahwa apa yang kita pertaruhkan sama dengan kesinambungan hidup kita. Dengan cara ini, mereka akan dapat melihat bahwa masa depan terletak di tangan mereka sendiri. Kedua, saya yakin benar bahwa dialog dapat dan harus diajarkan di kelas. Menyuguhi para siswa dengan masalah kontroversial dan meminta mereka memperdebatkan adalah cara yang indah untuk memperkenalkan mereka dengan konsep memecahkan konflik tanpa kekerasan. Memang, orang akan berharap bahwa jika sekolah-sekolah menjadikan hal ini prioritas utama maka ia. akan memiliki dampak yang bermanfaat bagi keluarga itu sendiri. Saat melihat orang tuanya bertengkar, seorang anak yang telah memahami nilai sebuah dialog secara naluriah akan berkata, "Oh, bukan. Bukan begitu caranya. Kalian harus bicara, memperbincangkan sesuatu dengan layak."
Akhirnya, penting pula bagi kita untuk menghapus semua kecenderungan yang mengajarkan sesama dalam cahaya yang negatif, dari kurikulum sekolah. Tak diragukan lagi, dalam sejumlah bagian dunia pengajaran sejarah, misalnya, justru memelihara sikap munafik dan rasisme terhadap masyarakat lain. Tentu saja ini keliru. la tak menyumbangkan apa pun bagi kebahagiaan manusia. Sekarang terlebih lagi kita perlu memperlihatkan kepada anak-anak kita bahwa perbedaan antara "negeri kita" dan "negeri Anda", "agama saya" dan "agama Anda", hanyalah pertimbangan kedua. Sebaliknya, kita harus mendesakkan pengamatan bahwa hak saya bagi kebahagiaan sama kadarnya dengan hak sesama. Bukannya saya berkeyakinan bahwa kita harus mendidik anak-anak agar meninggalkan atau mengabaikan kultur dan tradisi sejarah mereka. Sebaliknya, yang penting adalah menanamkan hal ini ke dalam benak mereka. Baik bagi anak-anak untuk mencintai negaranya, agama mereka, kultur mereka, dan seterusnya. Namun bahaya akan datang jika hal ini berkembang menjadi nasionalisme yang kerdil, etnosentrisitas, dan kemunafikan religius. Contoh Mahatma Gandhi amat penting di sini. Walaupun dia mengenyam pendidikan Barat yang tinggi, dia tidak pernah melupakan atau menjadi terasing dari kekayaan warisan kultur India miliknya….



Kata Kunci/ keyword Terkait dengan artikel ini : pendidikan, pendidikan nasional, makalah pendidikan, pendidikan agama, menteri pendidikan, menteri pendidikan nasional, pendidikan usia dini, pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, pendidikan di indonesia, departemen pendidikan, manajemen pendidikan, pendidikan teknologi, teknologi pendidikan, masalah pendidikan, pidato tentang pendidikan, tingkat pendidikan, pendidikan lingkungan hidup, evaluasi pendidikan, pendidikan pancasila, pentingnya pendidikan, pendidikan nasional indonesia, menteri pendidikan 2010, website pendidikan, pendidikan ppt, departemen pendidikan nasional, komunikasi pendidikan, standar nasional pendidikan, standar pendidikan nasional, pendidikan seks, logo pendidikan, pendidikan internet, kata kata pendidikan, teknologi dan pendidikan, uu pendidikan, inovasi pendidikan, pendidikan luar sekolah, pendidikan menurut islam, kementerian pendidikan nasional, journal pendidikan, aliran pendidikan, pendidikan tik, pendidikan dan kebudayaan, undang-undang pendidikan, pendidikan hukum, dinas pendidikan nasional, internet dalam pendidikan, internet untuk pendidikan, pendidikan jepang, pembiayaan pendidikan, artikel pendidikan indonesia, pendidikan kimia, lembaga pendidikan islam, perkembangan pendidikan indonesia, kementrian pendidikan, info pendidikan, blog pendidikan, uu pendidikan nasional, tujuan pendidikan jasmani, dasar-dasar pendidikan, pendidikan dan pembangunan, pendidikan pesantren, www.pendidikan, manajemen pendidikan islam, reformasi pendidikan, pendidikan diindonesia, hadits tentang pendidikan, komputer dalam pendidikan, menteri pendidikan indonesia, mentri pendidikan, depdiknas.go.id, macam-macam pendidikan, dasar pendidikan nasional, pendidikan sebagai sistem, kementrian pendidikan nasional, penilaian dalam pendidikan, pendidikan kewirausahaan, nilai-nilai pendidikan, aliran-aliran pendidikan, biaya pendidikan itb, faktor-faktor pendidikan, uud pendidikan, pendidikan tradisional, pendidikan sebagai ilmu, nama menteri pendidikan, pendidikan masa kini, jenis-jenis pendidikan, departemen pendidikan indonesia, tokoh-tokoh pendidikan, artikel pendidikan jasmani, pemerataan pendidikan, pendidikan.com, unsur-unsur pendidikan, artikel pendidikan nasional, prinsip-prinsip pendidikan, prinsip pendidikan islam, contoh pantun pendidikan, teori-teori pendidikan, multimedia dalam pendidikan, artikel dunia pendidikan, lambang departemen pendidikan.

EBTA - EBTANAS - UAN - UASBN - UN > PEMBODOHAN

UAN DALAM BINGKAI KEPENTINGAN TERSELUBUNG

TERLEPAS dari maksud baik apapun, dampak negatif pemberlakuan Ujian Akhir Nasional (UAN) tak terelakkan. Tindak kekerasan (perusakan sekolah) dan meneguk minuman keras termasuk reaksi atas ketidaklulusan menempuh UAN . Selain itu, metode "penilaian" hasil ujian siswa pelulusan, penguntungan dan perugian siswa perlu dipertanyakan.

Ketajaman intelektual mendapat sorotan istimewa dalam dunia pendidikan formal. Terkesan, keunggulan (arĂȘte, virtue) kepribadian seorang anak didik ditakar berdasarkan relativitas angka yang umumnya telah direkayasa. Secara tak langsung, dari satu sisi, sistem ini lebih menghargai pribadi anak-anak berintelektualitas tinggi daripada anak-anak berintelektualitas sedang dan rendah. Ini termasuk berita diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.

Demi perbaikan dunia pendidikan, sistem (penilaian) UAN perlu lebih dicermati. Pertama, model soal multiple choice acapkali membingungkan dan model ini dari satu sisi mengajar anak didik untuk berspekulasi dan mereka-reka dalam hidup. Kedua, metode konversi (jelmaan dari sistem "katrol-katrolan") perlu ditinjau ulang, sebab metode ini membuka peluang luas untuk mempermainkan (baca: menyulap) hasil keringat dan perasan otak siswa. Bukan mustahil, kesempatan berpolitik uang akan bertumbuh subur dalam dunia pendidikan formal. Ketiga, anak didik tidak dihadapkan dengan realitas hidup dan hasil perjuangannya sendiri, namun anak-anak didik diperkenalkan dengan budaya rekayasa.

Sistem penilaian UAN pada dasarnya mendidik anak-anak kita untuk mengubah sesuatu tanpa memperhatikan hak pihak lain. Merugikan pihak lain tanpa landasan yang adil. Suatu keberhasilan semu diperoleh tidak melalui proses normal, melainkan melalui sistem spekulatif yang berciri untung-untungan. Ketidakadilan muncul dalam dunia pendidikan formal karena siswa yang berhak menerima nilai semestinya merasa dirugikan oleh sistem.
Sementara itu, terdapat sejumlah siswa diuntungkan oleh sistem ini. Anak didik tidak diajar untuk menghargai hak orang lain sebagaimana mestinya. Biarkan anak didik sendiri yang menentukan hasil keringat mereka tanpa manipulasi yang merugikan dan menguntungkan. Apakah pencapaian 5,5 ( atau berapapun itu )dengan sendirinya telah menjamin kualitas anak didik dalam dunia pendidikan?

BEBASKAN SI KECIL DARI DEPRESI BELAJAR

MOHON PERHATIAN GURU DAN ORANG TUA
Jakarta, Kamis
Menjejali anak dengan beragam les dan kursus, tidak menjamin anak otomatis jadi pandai. Yang terjadi bisa sebaliknya, anak kita frustrasi, bahkan bisa bunuh diri seperti dilakukan Lysher Loh Jia Hui, siswi SD berusia 10 tahun.
"PR lagi? Jangan dong Bu, saya 'kan sudah banyak PR dari sekolah," rengek Joshua kepada ibu guru lesnya. Terang saja ia keberatan. Dalam seminggu Joshua yang baru 10 tahun umurnya itu harus mengikuti empat macam les. Apalagi sekarang di sekolahnya ada jam tambahan pelajaran, sehingga ia jadi tidak punya waktu bermain. Akibatnya, di tempat les ia jadi sering berselisih dengan temannya. Begitu sensitif, digoda sedikit saja langsung marah. Di sekolah pun perhatian terhadap proses pengajaran menurun dan sering lupa bikin pekerjaan rumah (PR).

Dengan alasan kasih sayang, apa saja dilakukan orangtua agar anaknya sukses. Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya jadi yang terbaik di sekolah dan punya masa depan cemerlang? Maka, tak heran kalau banyak orang- tua memaksa anak mengikuti berbagai les dan kegiatan. Namun, jika tidak diwaspadai, hal ini malah bisa menjadi bumerang.

Bumerang itu sempat menghantam balik orangtua Lysher Loh Jia Hui akibat ulah sendiri. Ini sebuah cerita tragis y ang menimpa Lysher (Siswi SD: Selamat Tinggal Sekolah, Selamat Tinggal Hidup; Koran Tempo, 23 Agustus 2001).
Siswi kelas empat SD berusia 10 tahun asal Singapura itu, mengakhiri hidupnya dengan terjun bebas dari sebuah apartemen di tingkat lima. Ia ditemukan terkapar tewas dengan mengenakan kaus oblong - celana pendek seragam sekolahnya. Siswi yang tergolong pintar di sekolah itu sangat terpukul ketika mendapat ranking ketiga.

Nah kondisi ini sangat terlihat kepada sekolah - sekolah yang bersifat terpadu, sebab anak akan kehilangan masa kekanak - kanakannya yang terbebani oleh beban belajar hingga sore serta tugas guru atau sekolah di di rumah. Di samping tekanan oleh orang tua yang menargetkan kepada si anak rengking ataupun pringkat di kelas yang memuaskan ( membanggakan orang tua ).

Semoga Para Yayasan dan Pendidikan memperhatikan hal ini.

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA > REALITA DAN KENYATAAN

Pendidikan Bermutu di tengah Pentas Budaya Instan

Oleh : Tata Sutabri S.Kom, MM
Ditulis Ulang Oleh Pak Gun
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa— tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu ½ jam saja dengan teknik hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan.


Maklum, orang makin sibuk. Malas direpotkan dengan hal-hal ribet. Maunya serba instan. Salahkah itu?, selama masih mengikuti hukum alam, serba instan itu sah-sah saja. “Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus tetap terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”. Tapi ingat itu ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama.

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.

Pendidikan Cenderung Dibisniskan.
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi.

Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama "gencarnya" dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ?

Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan.

Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari" oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang "paling menentukan" diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan.

Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.

Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.

Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja "mengabaikan" bidang studi lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarnaja dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, "Saya pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai kasir di bank kami dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung yang IPK-nya sangat bagus."

Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.


Kata Kunci/ keyword Terkait dengan artikel ini : pendidikan, pendidikan nasional, makalah pendidikan, pendidikan agama, menteri pendidikan, menteri pendidikan nasional, pendidikan usia dini, pengertian pendidikan, tujuan pendidikan, pendidikan di indonesia, departemen pendidikan, manajemen pendidikan, pendidikan teknologi, teknologi pendidikan, masalah pendidikan, pidato tentang pendidikan, tingkat pendidikan, pendidikan lingkungan hidup, evaluasi pendidikan, pendidikan pancasila, pentingnya pendidikan, pendidikan nasional indonesia, menteri pendidikan 2010, website pendidikan, pendidikan ppt, departemen pendidikan nasional, komunikasi pendidikan, standar nasional pendidikan, standar pendidikan nasional, pendidikan seks, logo pendidikan, pendidikan internet, kata kata pendidikan, teknologi dan pendidikan, uu pendidikan, inovasi pendidikan, pendidikan luar sekolah, pendidikan menurut islam, kementerian pendidikan nasional, journal pendidikan, aliran pendidikan, pendidikan tik, pendidikan dan kebudayaan, undang-undang pendidikan, pendidikan hukum, dinas pendidikan nasional, internet dalam pendidikan, internet untuk pendidikan, pendidikan jepang, pembiayaan pendidikan, artikel pendidikan indonesia, pendidikan kimia, lembaga pendidikan islam, perkembangan pendidikan indonesia, kementrian pendidikan, info pendidikan, blog pendidikan, uu pendidikan nasional, tujuan pendidikan jasmani, dasar-dasar pendidikan, pendidikan dan pembangunan, pendidikan pesantren, www.pendidikan, manajemen pendidikan islam, reformasi pendidikan, pendidikan diindonesia, hadits tentang pendidikan, komputer dalam pendidikan, menteri pendidikan indonesia, mentri pendidikan, depdiknas.go.id, macam-macam pendidikan, dasar pendidikan nasional, pendidikan sebagai sistem, kementrian pendidikan nasional, penilaian dalam pendidikan, pendidikan kewirausahaan, nilai-nilai pendidikan, aliran-aliran pendidikan, biaya pendidikan itb, faktor-faktor pendidikan, uud pendidikan, pendidikan tradisional, pendidikan sebagai ilmu, nama menteri pendidikan, pendidikan masa kini, jenis-jenis pendidikan, departemen pendidikan indonesia, tokoh-tokoh pendidikan, artikel pendidikan jasmani, pemerataan pendidikan, pendidikan.com, unsur-unsur pendidikan, artikel pendidikan nasional, prinsip-prinsip pendidikan, prinsip pendidikan islam, contoh pantun pendidikan, teori-teori pendidikan, multimedia dalam pendidikan, artikel dunia pendidikan, lambang departemen pendidikan.

Komunitas Blog Guru Sosial Media