TELAH DIBUKA UJIAN KEJAR PAKET A, B DAN C SELURUH INDONESIA, RESMI. INFORMASINYA DI SINI
Diberdayakan oleh Blogger.

Kumpulan Video Pembelajaran

Home » , , » KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK
( Tulisan Teman di Pasca Sarjana IAINSU )
Oleh : Andi Wiliandi

Pendahuluan
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum (mata pelajaran).
Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik. Hari ini kurikulum pendidikan di Indonesia dapat kita katakan sudah berjalan dengan baik, dan langsung dikelola oleh departemen pendidikan.
Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor pendidikan lainnya, maka kurikulum pun memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami pembaruan dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.
Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga pemerintah, formal atau non-formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam. Kegiatan itu dilakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al-Jamiah).
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik
Yang dimaksud dengan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.
Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian tersebut.
Hasan Asari memberikan penjelasan tentang kurikulum madrasah dengan konsep awal klasifikasi ilmu pengetahuan yang diajarkan di madrasah. Untuk memahami kurikulum madrasah secara lebih luas, menurutnya, perlu memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang dikembangkan para ulama dan ilmuwan Muslim. la mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang ahli kedokteran, berdasarkan riwayat Ibn Abi Ushaybi'ah, yang mengelompokkan ulama yang wafat pada sekitar pertengahan abad ke-5/11 ke dalam tiga kelompok berdasarkan cabang ilmu yang ditekuni yaitu: 1) ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulum al-syar’iyyah); 2) ilmu-ilmu klasik (‘ulum al-qudama’ = (filsafat Yunani, filsafat Timur) Persia dan sebagainya, yang disebut awa'il)., dan 3) ilmu-ilmu sastra (al-‘ulum al-adabiyah).
Hasan Asari juga mengutip pendapat Ibn Buthlan yang merupakan suatu klasifikasi yang detail; namun ini memadai untuk tujuan kita sekarang ini. Klasifikasi yang lebih lengkap dan detail dapat dilihat dalam beberapa karya Abad Pertengahan yang lain. Perumusan klasifikasi ilmu pengetahuan menjadi satu bidang penting dan mendapat perhatian serius para ilmuan muslim.
Pada hakikatnya kurikulum pendidikan Islam klasik berbeda-beda menurut wilayah masing-masing. Tidak ada pembakuan kurikulum yang dilakukan oleh Negara. Perbedaan kurikulum antara tempat yang satu dengan tempat lainnya bukan didasarkan daerahnya akan tetapi perbedaan tersebut didasarkan kepada guru yang memberikannya. Di Mesir misalnya kurikulum dititik beratkan kepada fiqh, sedangkan di Madinah lebih menitik beratkan kepada kajian hadis.
Meskipun perbedaan kurikulum berbeda dengan tempat yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi disepakati bahwa kitab suci al-Qur’an dijadikan sebagai sumber pokok ilmu-ilmu agama dan umum. Pada awalnya kurikulum yang diajarkan berkisar pada belajar membaca al-Qur’an, menulis, keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ekonomi dan politik yang semuanya bersumber kepada al-Qur’an.
Kurikulum pendidikan Islam klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidikan modern. Pada kurikulum pendidikan modern, seperti kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisasi dan strategi. Pengertian dan komponen demikian agaknya sangat sulit ditemukan dalam literatur-literatur kependidikan Islam klasik. Untuk itu, kurikulum pendidikan Islam klasik dalam makalah ini dipahami dengan subyek-subyek ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan.
Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622 M, atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari. Dan sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, disamping dengan berpidato dan ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat al-Qur’an sejumlah 93 surat, dan petunjuk-petunjuknya.
Penentuan kurikulum adalah terletak pada ulama, kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima sebagai otoratif dalam soal agama dan hukum. Sebagai persiapan untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqh, seseorang mempelajari bahasa Arab mencakup gramatika dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi. Makdisi mengatakan bahwa Nahwi, grammar was always an important part of education. It learned especially in order the better to understand scripture. Studi-studi pendahuluan ini dapat ditempuh dengan tutor pribadi atau dengan menghadiri halaqah dalam bahasa Arab. Pedagogi muslim menerima pandangan Yunani yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir logis dan jelas memiliki korelasi langsung dengan kemampuan berbicara dan menulis secara tepat. Karena itu para tutor sangat menekankan latihan-latihan yang membantu perkembangan kemahiran berbahasa.
Secara umum, materi al-Quran dan petuah-petuah Rasul itu menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah, para rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa itu lebih difahami dengan sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia bertingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan jenjang pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya :
1. Kurikulum tingkat rendah
Kurikulum tingkat rendah meliputi al-Qur’an dan agama, membaca, menulis, sya’ir, dan sebagian prinsip-prinsip pokok agama dan ditambah juga dengan nahwu, cerita dan berenang. Untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan pentingnya pelajaran khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqh. Penekanan kurikulum berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Di Andalusia misalnya, untuk tingkat rendah diajarkan al-Qur’an, dan dimasukkan materi lain seperti riwayat sya’ir-sya’ir, prosa, berhitung, dan pembelaan negara sehingga kemampuan anak-anak dalam tulis menulis dan khat sangat menonjol. Kemudian kemampuan menemukan (discovery) serta kemampuan menghubungkan cabang-cabang ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan aqli lebih unggul dibandingkan negeri Islam yang lain.
Mahmud Yunus, berpendapat bahwa waktu belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jum’at, hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah Zhuhur hingga akhir siang [Ashar].
2. Kurikulum tingkat atas
Al-Chawarizani dalam Maf±ti¥ al-Ul­m, sebagaimana yang dikutip al-Jumbul±ti menyebutkan kurikulum pendidikan tingkat atas meliputi ilmu fiqih, nahwu, ilmu kalam, aljabar dan ilmu hitung. Namun sama halnya dengan tingkat rendah, kurikulum tingkat atas tidak sama antara negara yang satu dengan yang lainnya. Setiap negara mempunyai kurikulum yang khas dalam pendidikannya. Namun para pelajar tidak terikat untuk kurikulumnya, dan guru-gurunya juga tidak terikat dengan kurikulum yang ditentukan untuk dijadikan sumbur pegangan dalam pengajarannya.
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pendidikan oleh rasul tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana, perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.
Kemudian di masjid K­fah dan Ba¡rah yang menonjol adalah ilmu-ilmu bahasa. Maka muncul Nahwu Arab K­fah yang menekankan pada qiyas. Perbedaan ini membawa perkembangan yang pesat pada Nahwu Arab. Walaupun ilmu-ilmu naqliyah cukup menonjol, namun ilmu-ilmu aqliyah mempunyai peranan penting. Ini terlihat dalam hubungan yang kokoh antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu bahasa, kebudayaan sampai kepada abad ke 2 hijriyah.
Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat.
Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut sorogan, sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama.
Dan menurut Makdisi tentang kurikulum pendidikan, Makdisi menggambarkan secara garis besar tentang kurikulum itu sendiri yang diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama jelas mendominasi madrasah, seperti juga lembaga-lembaga sebelumnya, masjid dan masjid-khan. Sejauh pengetahuan kita sekarang, tidak ada dokumen tertulis yang berisi rincian kurikulum satu madrasah. Hal ini memang sulit untuk diharapkan mengingat sifat-sifat dasar madrasah. Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan sistem pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi wakaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang dia ajarkan; sekali lagi, dia hanya terikat dengan waqfiyyah dari lembaga tempatnya mengajar.
Jadi apa yang dikatakan adalah suatu kesimpulan umum – yang tingkat kebenarannya pasti akan sangat bervariasi dari satu kasus ke kasus yang lain – yaitu bahwa kurikulum madrasah terdiri dari:
1. Ilmu-ilmu agama semacam: ilmu al-Qur’an, hadis, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam kelompok ini. Meskipun deskripsi madrasah-madrasah menunjukkan adanya variasi dalam hal penekanan dan porsi yang ditempati dalam kurikulum, secara umum kelompok ilmu ini adalah bagian inti dari kurikulum semua madrasah.
2. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung kajian ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi bukan menjadi bagian utama dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli gramtika bahasa Arab (nahwi) adalah merupakan bagian dari staf beberapa madrasah; namun posisinya jelas tidak sepenting posisi mudarris yang mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum berhubungan dengan tatanan sosial suatu masyarakat. Ini terlihat dari klasifikasi ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada tiga kriteria :
1. Berdasarkan tingkat kewajibannya.
2. Berdasarkan sumbernya.
3. Berdasarkan fungsi sosialnya.

Ad.1. Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan tingkat kewajibannya.
Pendidikan dimata al-Gaz±li merupakan suatu kewajiban untuk mempelajarinya. Makanya tidak mengherankan kalau kurikulum pendidikan Islam menurut Imam al-Gazāli terdiri dari :
a. Ilmu far«u ‘ain (wajib dipelajari) yakni ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, fiqih, dan tafsir.
b. Ilmu far«u kifāyah yakni metafisika, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan industri. Perhatian al-Gazali terhadap kurikulum menitik beratkan pada aspek manfaatnya bagi manusia, baik akhirat maupun dunia.


Ad.2. Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya.
Menurut sumber ada dua kategori pengetahuan, yaitu pengetahuan syari’ah dan pengetahuan ghairu syari’ah. Pengetahuan syari’ah bersumber pada pemberitaan para nabi, bukan pada petunjuk akal. Ilmu yang termasuk di dalamnya adalah :
a. Ushul (pokok) yang terdiri dari pengetahuan al-Qur’an, sunnah Rasulullah, ijma’ dan a£±r ¡a¥abat.
b. Furu’ (cabang) yang terdiri dari ilmu fiqih, akhlak dan etika Islam.
c. Muqaddimah (pendahuluan) yang terdiri dari ilmu bahasa dan nahwu.
d. Mutammimat (penyempurnaan/pelengkap) yang terdiri dari qiraat al-Qur’an dan makhrajnya, tafsir, u¡­l fiqh, ilmu hadis dan ilmu-ilmu yang melengkapi ā£±r dan akhb±r.
Sedangkan pengetahuan ghairu syari’ah adalah pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran, eksperimen, akulturasi yang menitik beratkan kepada aspek manfaatnya bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Ad.3. Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan fungsi sosialnya.
Berdasarkan fungsi sosialnya pengetahuan pada intinya mengarah kepada pembentukan kepribadian dalam mengabdikan diri kepada sesama manusia. Selanjutnya al-Ghaz±liy mengklasifikasikan ilmu-ilmu tersebut kepada dua bagian, yakni: pertama yang mempunyai kaitannya dengan agama, yaitu meliputi matematika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, logika, fisika dan kedokteran, dan kedua, yang tidak mempunyai kaitannya dengan agama, meliputi metafisika, politik, etika dan psikologi.
Ketika menekankan pentingnya muatan pendidikan dan bukannya metode, Naquib Al-Attas tidak bermaksud bahwa metode tidak memiliki dampak positif terhadap output pendidikan, tetapi sebaliknya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, adab itu sendiri termasuk metode yang benar untuk mengetahui dan berbuat sesuatu. Sekarang ini, materi-materi seperti metode-metode pengajaran dalam pelbagai disiplin, seperti matematika, biologi, ekonomi, dan bahkan agama sangat meluas, yang hanya menekankan teknik-teknik untuk mengembangkan tujuan-tujuan pendidikan dengan sedemikian rupa agar prestasinya bisa dibuktikan secara empiris dan bentuk-bentuk terbaru dari teknologi pengajarannya bisa semakin banyak menawarkan materi-materi yang berjudul “Berpikir Kritis”, “Berpikir Kreatif”, “Keterampilan Berpikir”, “Menghidupkan Keterampilan-keterampilan”, “Keterampilan Komputer”, Keterampilan Komunikasi”, dan lain-lain, yang hampir semuanya berorientasi pada tujuan-tujuan pragmatis, teknis, dan komersil.
Sepanjang masa pendidikan klasik Islam, penentuan pengembangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi berada di tangan ulama kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum. Keyakinan mereka berakar pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan. Mengikuti arus penolakan atas aliran yang diilhami filsafatYunani terutama pasca al-Ghazali, kurikulum pendidikan belum terbentuk secara baku dalam bentuk peraturan, tetapi kurikulum dan metode di masjid, akademi dan madrasah mengikuti pola-pola yang dikembangkan dari majlis dan halaqah-halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang dibicarakan dalam pengembangan madrasah lebih difokuskan pada kurikulum dan metode pengajaran saja.
Di dalam pengembangan kurikulum khususnya pelajaran agama, madrasah mempunyai satu persoalan yaitu mengenai pelajaran Kalam. Para ahli menyebutkan bahwa Ilmu Kalam tidak mendapat tempat dalam kurikulum madrasah. Sementara, yang lain, berpendapat bahwa Ilmu Kalam mendapat tempat pada kurikulum madrasah. Untuk soal pertama, George Makdisi menulis bahwa madrasah bukanlah lembaga pengajaran Kalam tetapi lembaga pengajaran fiqih (hukum). Kemenangan aliran Asy'ariyah atas Muktazilah tidak ada hubungan dengan pembangunan madrasah Nizhamiyah dan madrasah tersebut bukanlah lembaga resmi pemerintah, tetapi lembaga yang dibangun oleh wazir Nizham al-Mulk karena kapasitasnya sebagai pribadi muslim. Makdisi menulis:
Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum, dengan beberapa kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru besar hukum). Di Madrasah tidak ada posisi untuk mengajarkan kalam.
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen linguistik berkaitan dengan satu istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-modern, sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "d-r-s". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah (salah satu kata jadian d-r-s) adalah lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan:
Justifikasi penerjemahan kata [madrasah] ini menjadi lembaga pendidika tinggi hukum [college of law] dapat ditemukan dalam arti teknis kata jadian dari akar kata d-r-s. Istilah untuk hukum adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars; seorang guru besar fiqih adalah mudarris; dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih,..... darrasa dan tadris, secara berturut, berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran hukum.
Keterangan di atas cukup menggambarkan secara garis besar kurikulum pendidikan yang diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama sangat jelas mendominasi madrasah, seperti juga di lembaga masjid atau masjid khan. Sejauh pengalaman ahli sejarah pendidikan Islam, belum ada rincian yang jelas tentang kurikulum satu madrasah. Hal-hal ini dianggap sulit apabila dihubungkan dengan sifat-sifat madrasah. Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan bentuk pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi waqaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang diajarkan.
Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadist, tafsir, ushul fiqh, ilmu kalam dan lain-lain yang tergolong kelompok ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi tidak menjadi bagian utama dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapa madrasah, namun posisinya jelas tidak sepenting posisi mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus).
Tanpa bermaksud menghentikan konflik pendapat tersebut, ada baiknya pembicaraan ini dikembangkan pada perkembangan kurikulum madrasah selanjutnya. Ilmu-ilmu agama memang mendominasi kurikulum lembaga pendidikan formal. Disiplin-disiplin yang perlu untuk memahami dan menjelaskan makna Al-Quran rumbuh menjadi inti dari pengajaran yaitu hadits dan tafsir. Seni berpidato juga merupakan bagian penting dari pendidikan ilmu-ilmu agama, sebab kemampuan untuk menyampaikan ceramah yang menggugah dan ceramah ilmiah adalah salah satu peran inti seorang ulama dalam pendidikan dan kehidupan keagamaan di masyarakat. Kemahiran berbicara di tengah publik mengandung semua aspek pendidikan dan pengalaman.
Kurikulum ini dianggap sebagai kurikulum madrasah tinggi, karena sudah mengenalkan begitu banyak pelajaran umum. Tetapi, studi ilmu-ilmu asing itu tidak semua diajarkan mendetail pada tingkat madrasah umum atau khusus. Ada di antara ilmu-ilmu itu yang diajarkan pada tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak harus di lembaga formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan pejabat negara, pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan dan didalami.
Secara umum bentuk kurikulum madrasah pada masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam klasik menggunakan tiga bentuk kurikulum yaitu Subject Curriculum, Correlated Curriculum dan Integrated Curriculum. Ketiganya disesuaikan dengan perkembangan madrasah pada periode-periode tertentu.
Subject Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan pelajaran yang lain. Dalam subject curriculum, mata pelajaran diajarkan secara mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran tersebut terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya terdapat pada pelajaran utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lain-alin. Kemudian pelajaran non-agama seperti fisika, biologi, ilmu berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum dikembangkan pada masa awal berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam klasik.
Correlated Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan dengan materi pelajaran yang lain. Contohnya, materi tafsir dihubungkan dengan hadits, pelajaran fiqih dihubungkan dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini mendominasi pada masa akhir pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan mengalami renaissance.
Integrated Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu dengan yang lain dan saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu dalam bentuk unit. Kurikulum ini dilaksanakan dalam pengajaran unit, yaitu satu unit mempunyai tujuan yang bermakna bagi mahasiswa madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran retorika (dakwah) pada masa Madrasah Nizhamiyah sampai pada perkembangan madrasah selanjutnya.
Penutup
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, Bandung: Citapustaka Media, 2007

Ab­ Ham³d al-Ghaz±li, I¥ya ‘Ulūm al-D³n, Semarang: Thoha Putra, tt), juz 1

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1992

Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Mukhtar Yahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat; Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikologis, dan Kultural, Jakarta: Golden Terryon Press, 1994

Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam: Sejarah dan Peranannya Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Terj. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: Logos Publishing House, 1994

Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2007

Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999

Geogre Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam And The West, Edinburgh University Press, 1981

Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, T±r³kh Al-J±mi’±h al-Kubr±, Ta¯w±n: D±r al-°ib±h al-Magribiyyah, 1953

Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Gaz±li, Jakarta: Bumi Akasara, 1991

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK


Diajukuan Untuk Melengkapi Tugas Mandiri
Pada Mata Kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam



Oleh :


ANDI WILIANDI
NIM. 08 PEDI 1232


DOSEN PEMBIMBING

Prof. Dr. Hasan Asari, M.A









PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2009


Kata Kunci/ keyword Terkait dengan artikel ini : kurikulum pendidikan, kurikulum pendidikan islam, kurikulum pendidikan anak usia dini, kurikulum tingkat satuan pendidikan, pengembangan kurikulum pendidikan, kurikulum pendidikan indonesia, makalah kurikulum pendidikan, kurikulum pendidikan nasional, kurikulum pendidikan di indonesia, pengertian kurikulum pendidikan, artikel kurikulum pendidikan, kurikulum pendidikan karakter, kurikulum pendidikan tinggi, perubahan kurikulum pendidikan, kurikulum pendidikan matematika, fungsi kurikulum pendidikan, desain kurikulum pendidikan, perkembangan kurikulum pendidikan indonesia, perkembangan kurikulum pendidikan di indonesia, pusat kurikulum pendidikan nasional, macam-macam kurikulum pendidikan, pengembangan kurikulum pendidikan agama islam, pengembangan kurikulum pendidikan islam, materi pendidikan islam, kurikulum pendidikan islam.

0 komentar:

Posting Komentar

Komunitas Blog Guru Sosial Media