TELAH DIBUKA UJIAN KEJAR PAKET A, B DAN C SELURUH INDONESIA, RESMI. INFORMASINYA DI SINI
Diberdayakan oleh Blogger.

Kumpulan Video Pembelajaran

Home » , » Kedudukan Perempuan Dalam Pendidikan Islam

Kedudukan Perempuan Dalam Pendidikan Islam

PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Pendahuluan

            Secara konseptual tidak ada persoalan yang layak diperdebatkan tentang pentingnya arti pendidikan  bagi kehidupan manusia. Pendidikan  mencakup proses hominisasi yaitu proses menjadikan seseorang sebagai manusia dan humanisasi yaitu proses pengembangan kemanusiaan yang bukan secara instinktif saja.[1] Tujuan utama pendidikan antara lain; Pertama, sebagai realisasi diri, yaitu kebutuhan dan keinginan individu untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik, mampu memberi pengetahuan dan keterampilan bagi individu agar bisa memiliki SDM yang produktif. Kedua, sebagai kegiatan sosial (kolektif) ditujukan pada perwujudan nilai-nilai sosial atau cita-cita sosial.

            Perlu diakui bahwa peran wanita sampai hari ini belum teroptimalisasikan. Permasalahan mendasar yang menyebabkan kondisi seperti ini adalah karena potensi dan kemampuan kaum wanita sampai hari ini belum berwujud melembaga. Sumber daya kaum wanita masih relatif kurang. Lemahnya peran saat ini, karena kaum wanita belum menjelma menjadi sumber daya manusia yang kualitasnya teruji.[2]
            Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya manusia.[3] Meningkatkan kulitas sumber daya kaum wanita hanya bisa dilakukan dengan penyadaran bahwa mereka harus berpendidikan supaya  merasa sejajar dengan kaum laki-laki dalam kemampuan dan keterlibatan peran.
            Secara kultural, diakui atau tidak, umumnya perempuan tidak memiliki keberdayaan disektor pendidikan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Pemerataan kesempatan (equality of opportunity), aksebilitas memperoleh pendidikan baik pada jenis, jenjang dan jalur pendidikan terutama jalur formal masih secara kuantitatif  lebih banyak dinikmati laki-laki.[4]
            Kenyataan diatas justru banyak dijumpai di negara-negara yang masyarakatnya adalah masyarakat Muslim, padahal Islam merupakan Agama yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu, persoalan bagaimana pandangan Islam secara normatif terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan hal yang perlu dikaji ulang.

Perempuan dalam perspektif  Pendidikan

            Masalah diskriminasi wanita merupakan masalah yang terjadi hampir diseluruh belahan dunia dan disegala kelompok masyarakat. Alasannya jelas: selama ribuan tahun perempuan terus menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam semua masyarakat patriarkhal. Dan ini bisa terjadi karena kebanyakan masyarakat didunia ini adalah masyarakat patriarkhal. Demikianlah, selama berabad-abad “hukum alam” ini menetapkan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki dan harus tunduk kepada kekuasaan mereka.[5]
Diskriminasi wanita tumbuh dalam sistem budaya yang tidak egaliter. Realitas keterbelakangan dan kebodohan kaum wanita menjadi sebab utama terjadinya perlakuan diskriminatif ini. Karenanya, salah satu kunci untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan pendidikan. Karena pada hakikatnya pendidikan merupakan proses pencerahan manusia dari kebutaan berpikir.
Pendidikan, dalam prosesnya bisa menjadi “prektek kebebasan”, yakni sarana dengan apa manusia berurusan secara kritis dan kreatif dengan realitas, serta menemukan bagaimana cara berperan serta untuk mengubah dunia mereka.[6]Oleh karena itu, jika perempuan diberi kesempatan yang seluas-luasnya  untuk mendapatkan pendidikan diharapkan mereka mampu mengembangkan potensi mereka juga mengembangkan kesadaran akan realitas sosial dan budaya yang selama ini banyak menindas hak-hak mereka. Dengan demikian kondisi yang seringkali merugikan kaum perempuan secara bertahap bisa dirubah. Seperti tertuang dalam  The Beijing Declaration and the Platform for Action,1996(Gender, Education and Development, International Centre of the ILO):
“Pendidikan merupakan hak Asasi manusia dan merupakan alat penting bagi pencapaian kesetaraan, perkembangan, dan kedamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan sangat menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki dewasa”

Keluasan kesempatan individu mengenyam pendidikan dan pengajaran baik formal maupun non formal, berpengaruh pada keluasan cakrawala dan pola berpikirnya. Keluasan ini memungkinkan munculnya gagasan-gagasan baru untuk memperbaiki kehidupan manusia.[7]
            Pentingnya pendidikan bagi perempuan juga berkaitan erat dengan peran penting mereka dalam peningkatan kualitas generasi muda. Dalam hal ini diperlukan adanya peningkatan kesadaran pada seorang Ibu terhadap tanggung jawab dan perannya sebagai pendidik pertama dan utama.
Merupakan suatu yang kodrati bahwa wanitalah yang melahirkan anak, membesarkan generasi bangsa yang secara alamiah ia memiliki hubungan emosional yang paling dekat dengan anak. Sesuai dengan harkat, martabat dan kodratnya, kaum wanita mempunyai peran yang sangat besar dan menentukan. Merekalah yang membentuk, menentukan, dan memberi “warna” kualitas generasi muda bangsa. Karena itu tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa, berada ditangan wanitalah kualitas generasi muda, penerus cita-cita perjuangan itu ditentukan.

Pendidikan Perempuan di dunia Muslim .
            Di negara –negara yang masyarakatnya adalah masyarakat Muslim seperti negara-negara Arab, kelihatan jelas terjadinya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan sebagaimana tergambar dalam data statistik mengenai perempuan di dunia Arab. Di lihat dari jumlahnya, perempuan masih tertinggal dari laki-laki baik dalam tingkat pendidikan dasar maupun tingkat menengah. Di Mesir pada tahun 1990, misalnya, terdapat 76 perempuan dalam setiap 100 laki-laki pada tingkat pendidikan menengah. Di Tunisia, perbandingan jumlahnya  adalah 77;  dan di Maroko jumlahnya 69. Ketimpangan ini juga bisa dilihat dalam Pendidikan tingkat dasar: 80 perempuan dalam setiap 100 laki-laki di Mesir, 87 di Syiria, 66 di Maroko. Sedangkan di Saudi Jumlahnya adalah 84. Hal tersebut menjelaskan dengan jujur bahwa semua jumlah tersebut menunjukkan sebuah tanda perbaikan dari apa yang menjadi masalah pada dua puluh tahun sebelumnnya. Meski demikian, perbedaan jumlah antara laki-laki dan perempuan yang bersekolah masih demikian menyolok.[8]
Perempuan juga mengalami ketidak imbangan dalam hal pemberantasan buta huruf. Rata-tara tingkat buta huruf pada wanita dewasa di tahun 1990 di Kuwait adalah 33 persen, dan 51 persen di Iraq dan Libya. Di somalia jumlahnya mencapai 86 persen.[9]
Di Indonesia yang penduduknya merupakan pemeluk Islam terbesar diseluruh dunia, ketimpangan jumlah  antara laki-laki dan perempuan terlihat di semua tingkat pendidikan. Data statistik Indonesia tahun 1993 menunjukkan bahwa dari setiap 100 perempuan 47-nya tidak pernah bersekolah atau tidak tamat sekolah dasar, sedangkan dari 100 pria 37-nya.[10] Ratio tingkat gender parity (keseimbangan gender) hampir mencapai prosentase seimbang ketika pada tingkat dasar 49.18: 50.83 (laki-perempuan) namun semakin rendah bagi perempuan ketika kejenjang lebih tinggi.
            Dalam hal pengambilan kebijakan ditingkat pendidikan pun, secara kuantitatif perempuan masih senantisa berada di bawah laki-laki. Misalnya, sebuah  Contoh kasus di tingkat universitas di Lebanon, di Universitas Amerika Beirut(AUB). Tidak ada seorangpun perempuan yang menduduki jabatan dekan, pengambil keputusan tertinggi di AUB, dimana  kira-kira 30 persen pengajar nya adalah perempuan.[11]
            Selain itu, dari 23 Guru Besar di Fakultas Seni dan Sains di AUB, hanya satu orang perempuan. Dari 25 Lektor kepala, hanya dua diantaranya yang perempuan. Jumlah tersebut berubah secara dramatis di tingkat yng lebih rendah. Dari 56 lektor,  ada 19 orang perempuan, dan dari 59 instruktur, 37 orang adalah perempuan. Fakultas-fakultas lain kebanyakan juga menunjukkan ketimpangan yang serupa. Pendidikan Perempuan dalam Islam: perspektif normatif
            Bagaimanakah  hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dalam pandangan Islam, hal ini bisa ditinjau secara umum dari kedudukan dan hak-hak perempuan  dalam Islam. Islam menekankan persamaan hakiki dan mendasar antara laki-laki dan perempuan dan hak yang sama  dalam semua bidang yang menentukan, termasuk dalam pendidikan.
            Di saat semua peradaban, baik Yunani, Romawi, Cina, India dan persia denagn tingkat kebudayaannya yang tinggi  meperlakukan perempuan  hanya sebagai harta benda yang tidak memiliki hak apapun, Islam justru memberikan kedudukan yang tinggi pada perempuan. [12]
Pada zaman sebelum Islam, perempuan bangsa Arab  berada pada posisi yang sangat rendah dalam masyarakatnya. Mereka tidak hanya rendah secara sosial tapi juga diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Bahkan setelah mewarisi istri ayahnya, seorang laki-laki dapat mengawininya. Menurut Maulana Muhammad Ali, “Di kalangan masyarakt Arab pra Islam, apabila seorang laki-laki meninggal dunia, putranya yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya mempunyai hak untuk memiliki janda atau janda-jandanya, mengawini mereka jika mereka suka, tanpa memberikan mas kawin, atau mengawinkannya dengan orang lain, atau melarang mereka kawin sama sekali”.[13]
 Memiliki anak perempuan adalah hal yang sangat memalukan dan menurunkan kehormatan sehingga banyak yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Motifnya ada dua: Ketakutan kalau-kalau pertambahan keturunan perempuan akan menimbulkan beban ekonomi, dan juga ketakutan  akan kehinaan yang seringkali disebabkan karena para gadis yang ditawan oleh suku musuh dan selanjutnya menimbulkan kebanggaan penculiknya dihadapan orang tua dan saudara laki-lakinya.[14]
Jadi, sebelum Islam, wanita tidak memperoleh hak-hak menurut undang-undang dan tidak dapat kedudukan dalam masyarakat sebagaimana yang sewajarnya diberikan kepada mereka dan seharusnya diakui oleh masyarakat. Wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk mendapatkan  pendidikan, wanita harus tinggal dirumah saja dan tidak mempunyai andil dalam kehidupan masyarakat. Kepada wanita tidak diberikan kebebasan dalam segala urusan, mereka tidak diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan dan tidak mendapat perlindungan untuk memperoleh hak-haknya.
Setelah Islam, hal ihwal kaum wanita menjadi baik dan menggembirakan. Islam mengangkt martabat kaun wanita dan memberikan hak-hak yang telah hancur luluh oleh tradisi-tradisi, fanatisme golongan dan kebangsaan. Kepada kaum wanita diberikan peran yang amat besar, yang belum pernah diberikan oleh agama-agama sebelumnya, bahkan oleh undang-undang manapun. Norma-norma Islam yang menyangkut kedudukan wanita adalah perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.[15]
Al-Qur’an, sebagai sumber ajaran Islam, merupakan sumber ajaran yang yang banyak sekali mencurahkan perhatian terhadap kedudukan perempuan. Al-Qur’anlah yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan disaat budaya Arab pra Islam begitu merendahkan perempuan sehingga pembunuhan anak perempuan menjadi hal yang diterima secara wajar. Al-Qur’an juga memberikan hak-hak pada kaum perempuan pada abad ke 7, hal yang tidak bisa diperoleh perempuan Barat hingga baru-baru ini saja.[16]
 Perempuan Muslim, misalnya, menikmati kemandirian hukum secara penuh sehingga bisa memiliki dan mengatur harta kekayaan mereka sendiri, bisa menceraikan suami dengan alasan-alasan yang sangat liberal. Dimasa pemerintahan Nabi, perempuan memperoleh banyak sekali kebebasan, semisal dalam keluarga , hak-hak yang diberikan Islam memungkinkan mereka melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Mereka juga boleh ikut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan dan keagamaan diatas dasar yang kurang lebih setara dengan laki-laki..[17]
                Salah satu aspek ide persamaan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersumber pada ajaran bahwa seluruh manusia berasal pertemuan laki-laki- dan perempuan. Dalam surah An-Nisa’ ayat 1 disebutkan:
 “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”
            Seorang ilmuwan yang merenungkan ayat ini menyatakan:
  “ Hal yang patut diyakini adalah bahwa tidak ada sebuah teks, lama ataupun baru, yang berhubungan dengan kemanusiaan seorang perempuan dari seluruh aspeknya  dengan keberanian, kefasihan, kedalaman dan kemurnian yg demikian mengagumkan sebagaimana pernyataan dalam ayat ini.”[18]
            Ayat Al-Qur’an itu mengajarkan kesetaraan manusia, termasuk kesetaraan jenis kelamin dan meniadakan semua ketimpangan yang berasal dari perbedaan jenis kelamin, ras, warna kulit, kebangsaan, kasta atau kesukuan; karena seluruh manusia pada akhirnya berasal dari satu sumber.
            Masih ada sejumlah ayat lain yang menerangkan dengan jelas bahwa mengenai pembangunan moral dan spiritual, laki-laki dan perempuan berada pada tingkat kesetaraan yang sama. Dalam menyeru orang-orang Mukmin, Al-Qur’an seringkali menggunakan pernyataan “laki-laki dan perempuan yang beriman” untuk menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kewajiban, hak, kebajikan dan kesalehan masing-masing(QS:33:35).
            Tentang kewajiban agama Al-qur’an mengakui bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia sama dalam banyak aspek, dan oleh karena itu kedudukan dan status mereka juga sama dalam pandangan Tuhan (QS:16:97).
            Jika perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban yang sama dalam hal Shalat, membayar zakat pada fakir miskin, dan amar makruf nahi munkar, maka adalah hal yng niscaya bahwa mereka seharusnya memiliki kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan. Bagamana mungkin seorang perempuan bisa mengangkat suara melawan kebijakan-kebijakan ekonomi yang merusak atau  membela perubahan-perubahan ekonomi yang bermanfaat, ikut serta dalam politik yang baik atau mencegah politik yang buruk , jika dia tidak siap secara mental dan spiritual  terhadap kewajiban agama yang tertinggi tersebut.[19]
            Hal yang juga patut diingat adalah bahawa Islam tidak membuat perbedaan antara kewajiban duniawi dan kewajiban agama. Menurut ajaran Islam, semua kewajiban, baik menyangkut politik, ekonomi atau kesejahteraan sosial secara umum, merupakan kewajiban-kewajiban agama,  tidak ada bedanya dengan shalat, puasa dan organiasasi bantuan sosial.  Dengan mudah bisa disimpulkan dari ayat tersebut bahwa lak-laki dan perempuan seharusnya berada dalam kedudukan yang setara dalam bidang pendidikan.
            Nabi Muhammad  S.A.W bersabda :
            Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim
           
            Nabi tidak hanya bisa mengucapkan  ajaran yang umum tersebut mengenai kesetaraan jenis kelamin yang mencakup kesetaraan kesempatan pendidikan tapi juga melaksanakannya. Tidak terhitung banyaknya Sunnah Nabi yang menunjukkan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki biasa maju dengan bebas kehadapan Nabi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan meminta keterangan mengenai semua hal yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial, agama dan ekonomi. Beliau biasa menjawab pertanyaan mereka dan memberikan penjelasan mengenai semua pokok persoalan yang sedang terjadi.[20]
            Bangsa Arab khususnya, dan seluruh dunia pada umumnya  masih sangat terbelakang pada saat itu dimana tidak ada lembaga pendidikan yang tertata bahkan bagi kaum laki-laki. Jadi Sikap Islam terhadap pendidikan perempuan bisa dipelajari hanya dari ucapan-ucapan  Nabi yang sederhana dan  sikapnya  yang memberikan izin bagi perempuan untuk maju kehadapan beliau secara bebas untuk mengajukan pertanyaan mengenai persoalan-persoalan agama, ekonomi dan kepentingan sosial.
            Istri Beliau sendiri, Aisyah adalah seorang perempuan yang sangat terpelajar, dan selama pemerintahan khalifah yang empat, saran-saran beliau, bahkan mengenai persoalan-persoalan politik, diminta oleh para penguasa. Sampai saat ini Beliau juga diakui memiliki otoritas yang besar dalam bidang hukum Islam. Salah satu muridnya, ‘Urwa ibn al-Zubair, memberikan   kesaksian mengenai kedudukan Beliau dalam pengetahuan:
   “Saya tidak pernah melihat seorang ulama yang lebih agung dibanding Aisyah dalam pengetahuannya mengenai Al-Qur’an, kewajiban-kewajiban agama,  hal-hal yang sah atau yang tidak sah menurut hukum, puisi dan kesusasteraan, sejarah dan silsilah Arab”.
            ‘Urwa sendiri adalah seorang ulama besar dalam bidang sastra. Suatu kali ketika dia memuji Aisyah, di menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang menyamai Aisyah. Beliau merupakan salah satu perawi besar hadist-hadist Nabi. Beliau telah meriwayatkan sebanyak 2210 hadist.[21]
            Sayyida Nafisa, seorang keturunan Ali, khalifah keempat, juga merupakn seorang ulama besar. Imam Syafi’I, pendiri madzhab syafi’i dalam hukum Islam, adalah salah satu dari murid-muridnya yang terkenal yang duduk di majlis pengajarannya di al-Fustat ketika ia berada pada puncak kemasyhurannya. Sheikha Shuhda yang memberi pengajaran di depan umum di salah satu Masjid terpenting di Baghdad pada peserta yang demikian banyak mengenai kesusatraan, retorika dan puisi, juga merupakan salah satu ulama terkemuka dalam Islam.[22]
            Masih banyak perempuan-perempuan Muslim terpelajar lainnya yang menjadi guru, penulis dan sastrawan, dan mendapat penghormatan yang demikian tinggi dari masyarakat Muslim.           Ulama-ulama perempuan tersebut senantiasa menjadi figur yang menginspirasi perempuan –perempuan Muslim untuk berusaha mengungguli mereka. Ajaran Al-Qur’an, serta Sejarah mengenai perempuan-perempuan Muslim terkemuka tersebut  juga senantiasa  menjadi landasan bagi kaum feminis Muslim dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.[23]
Tradisi Islam yang kaya dan kompleks menawarkan pada perempuan-perempuan masa kini contoh-contoh yang banyak sekali  yang memberi inspirasi secara intelektual, kultural dan politis. Semua ini menambah sebuah penekanan pada hak-hak perempuan dalam pendidikan dan partisipasi publik, dan menaikkan rasa kedalaman dan kebanggaan mereka  sebagai seorang Muslim.
Oleh karena itu, senantiasa ada dorongan bagi  seorang perempuan Muslim untuk melanjutkan pendidikannya di bidang apapun untuk kepentingan intelektualnya dan untuk memanfaatkan pendidikan akademis atau profesionalnya bagi kebaikan masyarakat.[24]
Penutup
            Meskipun secara normatif Islam telah memberikan hak yang setara bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana halnya laki-laki, namun pada kenyataannya masih terjadi banyak ketimpangan dalam pelaksanaannya khususnya di negara-negara Muslim.Oleh karena itu,  harus ada kesadaran dan usaha untuk  memberikan kesempatan yang seluas-luasnya Juga menciptakan kondisi yang mendukung baik secara sosial maupun budaya bagi kaum perempuan untuk mendapatkan hak mereka dalam bidang pendidikan.
 Semakin berdaya perempuan dalam pendidikan, manfaatnya tidak  hanya kembali pada diri mereka sendiri secara pribadi tapi berimbas pada generasi muda yang lahir, tumbuh dan kembangnya berada di tangan mereka. Merekalah yang memberi warna pada kehidupan generasi muda yang berarti masa depan bagi suatu bangsa.
            Dengan cara demikian, diharapkan tidak ada lagi hambatan bagi perempuan untuk mengekspresikan diri, pikiran, maupun pilihannya. Demikian halnya, bias terhadap kaum Muslimin sebagai kalangan yang ofensif terhadap perempuan juga akan hilang dari peredaran.
            Seiring dengan ini, tuduhan-tuduhan yang dialamatkan pada Islam pun dengan sendirinya akan tereduksi karena sesungguhnya Islam merupakan agama yang memuliakan perempuan.


[1] Dr. J. Sudarminta, Filsafat Pendidikan, IKIP Sanata Dharma (Yogyakarta:1990), hal. 8
[2] Lia Kurniawaty,”Feminisme Islam?” dalam Membincangkan Feminisme, ed. Dadang S. Anshori,  dkk (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hal.53
[3] DR. Hj. Bainar,ed. Wacana Perempuan dalam keindonesiaan dan kemoderenan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998), hal.10
[4] Khodijatul Qodriyah,”Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Jurnal Komunitas,No. 1, Edisi I/2003, hal.74.
[5] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj.Farid Wajidi dan Cicik Farkha (Yogyakarta: LSPPA,2000), hal.3
[6] Paulo Freire,Pendidikan Kaum Tertindas,terj.(Jakarta: LP3ES,1995),xvi
[7] Aliyah Rasyid Baswedan,”Wanita dan Keluarga” dalam DR. HJ. Bainar,ed.,Wacana Perempuan,263
[8] Ghada Karmi,”Women, Islam And Patriarchalism” in Mai Yamani, ed. Feminism And Islam legal and literary perspective, (New York: New York University Press,1996),71
[9] Ibid.
[10] Nani Zulminarni,”Kemitrasejajaran: Perspektif ekonomi”,dalam DR.HJ. Bainar,Wacana Perempuan,82
[11] Jean Said Makdisi,”The Mythology of Modernity: Women And Democracy In Lebanon” in Mai Yamani, ed. Feminism And Islam legal and literary perspective, (New York: New York University Press,1996),233
[12] Raga’ El-Nimr,”Women In Islamic Law” in  Mai Yamani,ed.Feminism And Islam legal and literary perspective, (New York: New York University Press,1996),93
[13] Asghar Ali, Hak-hak perempuan,32
[14] Ibid.
[15]  Ali Yafie,”Kemitrasejajaran Wanita-Pria Perspektif Agama Islam”,dalam HJ. Bainar,ed. Wacana Perempuan, 63
[16] Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition and Politics,(London: Pinter Publishers,1995),94
[17] Ibid.
[18] Raga’ El-Nimr,”Women In Islamic Law”,91
[19] Ibid.92
[20] Ibid.
[21] Ibid.93
[22] Maha Azzam,”Gender And The Politics of Religion In The Middle East” in Mai Yamani, ed. Feminism And Islam legal and literary perspective, (New York: New York University Press,1996),221
[23] Margot Badran,Feminist, Islam, and Nation, Gender and The Making of Modern Egypt,(New Jersey: Princeton University Press,1995),145
[24] Raga’ El-Nimr,”Women In Islamic Law”,93

DAFTAR PUSTAKA
Dr. J. Sudarminta, Filsafat Pendidikan, IKIP Sanata Dharma (Yogyakarta:1990)
Dadang S. Anshori,  dkk,ed. Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
DR. Hj. Bainar,ed. Wacana Perempuan dalam keindonesiaan dan kemoderenan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998)
Khodijatul Qodriyah,”Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan” dalam Jurnal Komunitas,No. 1, Edisi I/200
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, terj.Farid Wajidi dan Cicik Farkha (Yogyakarta: LSPPA,2000)
Paulo Freire,Pendidikan Kaum Tertindas,terj.(Jakarta: LP3ES,1995)
Mai Yamani, ed. Feminism And Islam legal and literary perspective, (New York: New York University Press,1996)
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition and Politics,(London: Pinter Publishers,1995)
Margot Badran,Feminist, Islam, and Nation, Gender and The Making of Modern Egypt,(New Jersey: Princeton University Press,1995)

0 komentar:

Posting Komentar

Komunitas Blog Guru Sosial Media